Pemberontakan Gen Z Nepal: Nepo Kids, Korupsi, dan Runtuhnya Pemerintahan

Sejak 8 September 2025, Nepal diguncang kerusuhan politik paling mematikan dalam beberapa dekade. Gelombang protes yang dipimpin Generasi Z berhasil menjatuhkan Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli dan menyeret negeri Himalaya itu ke babak baru penuh ketidakpastian. Ribuan demonstran, mayoritas berusia 13 hingga 28 tahun, menyerbu ibu kota Kathmandu dengan membakar gedung parlemen, Mahkamah Agung, serta rumah pejabat tinggi.

Kerusuhan tersebut menewaskan sedikitnya 51 orang, melukai lebih dari 1.300, dan menyebabkan 12.500 narapidana melarikan diri, sebagian masih berkeliaran atau mencoba menyeberang ke India. Tentara Nepal segera dikerahkan, memberlakukan jam malam, menyita senjata hasil penjarahan, serta berusaha memulihkan keamanan. Bandara Internasional Tribhuvan sempat ditutup akibat asap kebakaran, namun kembali beroperasi meski jalanan tetap dipenuhi patroli militer.

Nepal dan Fenomena “Nepo Kids”

Menurut laporan Al Jazeera, salah satu pemicu utama protes di Nepal adalah maraknya persepsi bahwa keluarga elite politik hidup mewah di tengah kondisi negara yang miskin. Hal ini memperlebar jurang ketidakadilan antara kelompok kaya dan masyarakat biasa.

Di media sosial, istilah “nepo kids” menjadi viral beberapa minggu sebelum demonstrasi pecah pada hari Senin. Istilah ini, yang diambil dari kata nepotisme, digunakan untuk menyebut anak-anak pejabat dan menteri yang kerap memamerkan gaya hidup mewah. Tuduhan korupsi dan penyalahgunaan dana publik memang sudah lama melekat pada pejabat Nepal. Masyarakat mencurigai sebagian dana negara digunakan untuk membiayai kemewahan keluarga politisi, padahal gaji resmi pejabat di Nepal relatif kecil. 

“Kemarahan terhadap ‘nepo kids’ mencerminkan frustrasi publik yang mendalam,” jelas Yog Raj Lamichhane, dosen Universitas Pokhara. Gelombang protes pun disertai tuntutan pembentukan komisi investigasi khusus untuk menelusuri sumber kekayaan para politisi, yang dianggap sebagai cerminan maraknya korupsi dan ketidakadilan ekonomi. 

Ketimpangan Sosial yang Tajam

Kesenjangan sosial-ekonomi di Nepal sangat nyata. Pendapatan per kapita tahunan hanya sekitar US$1.400 (sekitar Rp 23 juta), terendah di Asia Selatan. Selama beberapa tahun terakhir, tingkat kemiskinan konsisten berada di atas 20 persen.

Pengangguran pemuda juga menjadi masalah serius. Data Bank Dunia menunjukkan 32,6% pemuda Nepal tidak bekerja atau bersekolah pada 2024, jauh lebih tinggi dibanding India yang berada di 23,5%. Situasi ini mendorong migrasi besar-besaran: sekitar 7,5% populasi Nepal tinggal di luar negeri pada 2021, jauh lebih tinggi dibanding India (1%) atau Pakistan (3,2% pada 2022).

Perekonomian Nepal pun sangat bergantung pada remitansi. Pada 2024, kiriman uang pekerja migran menyumbang 33,1% dari PDB, salah satu rasio tertinggi di dunia setelah Tonga. Ketimpangan kepemilikan lahan juga tetap lebar: 10% rumah tangga terkaya menguasai lebih dari 40% tanah, sementara banyak warga miskin pedesaan tidak memiliki lahan sama sekali.

Runtuhnya Pemerintahan Oli

Pada 11 September 2025, Perdana Menteri Oli mengumumkan pengunduran dirinya dengan alasan “situasi luar biasa” dan menuding adanya “infiltrasi kepentingan tertentu” dalam kerusuhan. Kepergiannya diikuti oleh Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak dan sejumlah menteri lainnya. Dengan tidak ada partai yang menguasai mayoritas, pembentukan pemerintahan interim menjadi agenda mendesak.

Sejarah tercipta pada 12 September 2025, ketika mantan Ketua Mahkamah Agung Sushila Karki, 73 tahun, dilantik sebagai perdana menteri perempuan pertama Nepal. Dikenal sebagai tokoh antikorupsi, Karki dipandang sebagai tokoh antikorupsi, terutama oleh para aktivis muda. Namun legitimasinya masih diperdebatkan karena ia bukan anggota parlemen aktif, sehingga memunculkan wacana pembubaran parlemen untuk memperkuat mandat interim.

Reaksi Internasional

Krisis ini mendapat sorotan global. Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Prancis mengeluarkan pernyataan bersama mendukung “hak universal atas kebebasan berkumpul dan berekspresi,” seraya menyerukan semua pihak menahan diri. Sekjen PBB António Guterres menyampaikan duka mendalam atas korban jiwa dan menyerukan investigasi menyeluruh sesuai hukum HAM internasional. Amnesty International mengecam penggunaan peluru tajam terhadap demonstran tak bersenjata sebagai pelanggaran serius hukum internasional.

Pengamat regional menyoroti kemiripan dengan protes mahasiswa Bangladesh tahun 2024, di mana mobilisasi Gen Z berhasil menggulingkan pemimpin lama. Jaringan diaspora Nepal dan aktivisme digital disebut memperkuat momentum perlawanan, menandai pola baru dalam politik Asia Selatan: kombinasi frustrasi ekonomi, dinasti politik, dan generasi muda yang makin berani menantang status quo.

Penulis : Nazwa

Sumber Gambar : Aljazeera.com

Referensi : 

Al Jazeera. “Nepal Appoints First Female PM in Wake of Deadly Protests.” Al Jazeera, September 12, 2025. https://www.aljazeera.com/news/2025/9/12/nepal-protest-death-toll-reaches-51-as-12500-prisoners-remain-on-the-run.

Ellis-Petersen, Hannah. “Nepal Prime Minister Quits after Deaths at Protests Sparked by Social Media Ban.” the Guardian. The Guardian, September 9, 2025. https://www.theguardian.com/world/2025/sep/09/nepal-protests-social-media-ban-lifted-gen-z-kathmandu.

Harvey, Lex, Sugam Pokharel, and Esha Mitra. “A Social Media Ban, Corruption and ‘Nepo Kids:’ What We Know about the Deadly Protests That Ousted Nepal’s Leader.” CNN, September 9, 2025. https://edition.cnn.com/2025/09/09/asia/nepal-protests-social-media-ban-explainer-intl-hnk?iid=cnn_buildContentRecirc_end_recirc&recs_exp=up-next-article-end&tenant_id=related.en.

tpr, sef . “Update Terbaru Demo Chaos Nepal, 51 Orang Tewas.” CNBC Indonesia. cnbcindonesia.com, September 12, 2025. https://www.cnbcindonesia.com/news/20250912154519-4-666537/update-terbaru-demo-chaos-nepal-51-orang-tewas.

United Nations. “Nepal Crisis: Army Deployed as Death Toll Rises amid Political Turmoil.” UN News, September 10, 2025. https://news.un.org/en/story/2025/09/1165818.