Pasifik merupakan kawasan penting yang seringkali terlupakan dalam kebijakan luar negeri Indonesia. padahal kawasan tersebut memiliki potensi yang besar yang dapat dikembangkan Indonesia melalui hubungannya dengan negara-negara di kawasan tersebut. Dalam RPJMN 2020-2024, Indonesia bertekad untuk mendekatkan dirinya dengan negara-negara di kawasan Pasifik. Sebagai perwujudan dari tekad tersebut, Kementerian Luar Negeri telah menyiapkan Grand Design Strategi Kebijakan di Kawasan Pasifik (GDSKPE/Pacific Elevation). Parahyangan Center for International Studies (PACIS) bersama dengan Tim Kajian Universitas Indonesia mengambil bagian dalam mendukung penguatan strategi tersebut dengan menyusun naskah pendamping GDSKPE tersebut. Naskah tersebut akan menjadi sarana sosialisasi kepada masyarakat secara luas.
Sebagai bagian dari rangkaian penyusunan naskah pendamping tersebut PACIS, LPPPS UI dan Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri Kemenlu menyelenggarakan kegiatan FGD Review Kebijakan pada tanggal 21 November 2024 di kantin Diplomasi Kementerian Luar Negeri, Pejambon, Jakarta.
FGD dibuka oleh Bapak Vahd Nabyl Mulachela, selaku Kepala Pusat Kajian Strategi Asia Pasifik Kemenlu RI dan dimoderatori oleh Ibu Etty Wulandari anggota Tim Penyusun GDSKPE Kemenlu.
Tim PACIS memaparkan tindak lanjut dari penulisan Buku Pendamping GDSKPE berdasarkan masukan yang disampaikan para narasumber dan peserta Kick-off Review Kebijakan pada tanggal 19 September 2024. Masukan tersebut di antaranya terkait siapa-siapa saja yang dimaksud dengan negara-negara di Kawasan Pasifik; target yang ingin dicapai GDSKPE, klusterisasi strategi dalam GDSKPE dan diplomasi public.

Tim LPPSP Universitas Indonesia memaparkan tantangan-tantangan yang dihadapi dalam penulisan buku pendamping GDSKPE. Pertama terkait bagaimana menyeimbangkan kepentingan Indonesia dan negara-negara Pasifik. Kedua terkait dengan upaya menyeimbangkan antara tujuan penulisan buku pendamping, yaitu untuk pemangku kepentingan dan publik. Selanjutnya dipaparkan isi Bab terkait Pendahuluan, Resource and Economic Development; Climate and Disasters, dan Ocean and Environment;
FGD Review Kebijakan tersebut menghadirkan tiga orang narasumber utama. Narasumber pertama adalah Duta Besar RI untuk Australia dan Republik Vanuatu, Bapak Siswo Pramono. Beliau memberikan paparannya yang berjudul Indonesia’s Foreign Policy towards Pacific: Grand Design. Bapak Siswo menyetujui landasan untuk masuk ke Pasifik adalah 2050 Strategy, karena menjadi mimpi dari warga di Kawasan Pasifik. Duta Besar Indonesia untuk Australia tersebut menyoroti kepentingan negara-negara di kawasan Pasifik dan bagaimana Indonesia telah berupaya untuk mengakomodasi kepentingan tersebut melalui inisiatif dan prakarsa di forum-forum internasional seperti G20 di bawah Presidensi Indonesia pada tahun 2022. Bapak Dubes Siswo juga mengusulkan supaya memberikan perhatian pada dokumen ASEAN Indo-Pacific Outlook yang telah digagas Indonesia pada tahun 2023. Di bawah Keketuaan Indonesia, telah disepakati forum AIOP telah menyepakati 93 projek, di mana 87% terkait dengan green infrastructure yang juga menjadi kepentingan negara-negara Pasifik.
Indonesia telah melakukan sejumlah upaya yang melibatkan negara-negara Pasifik sejalan dengan 7 area tematik yang ada di 2050 Strategy for the Blue Pacific Continent.
Menurutnya, Indonesia perlu memperdalam kerjasama dalam wadah Archipelagic and Islands States (AIS) dengan mengajak negara-negara di Kawasan Pasifik.
Terkait dengan tema people-centered development Indonesia telah menyediakan beasiswa bagi mahasiswa-mahasiswa di negara-negara Pasifik untuk kuliah di Indonesia. Terkait tema Peace and Security, Indonesia telah memberikan pelatihan bagi 10 polisi dari Vanuatu. Ke depan Indonesia perlu membantu implementasinya lebih dalam.
Bapak Dubes Adam Tugiyo, Staf Ahli Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Kemenlu menjadi narasumber kedua yang menanggapi laporan interim buku pendamping GDSKPE tersebut. Staf Ahli Bidang Polhukam Kemenlu tersebut memberikan catatan tentang pendekatan-pendekatan yang dapat diadopsi oleh Indonesia untuk winning heart and mind dari warga negara-negara di kawasan Pasifik. Strategi tersebut termasuk bagaimana Indonesia dapat masuk dalam peta trading partners dengan negara-negara di kawasan Pasifik. Jika dilihat mitra dagang negara-negara di Kawasan Pasifik, Indonesia belum masuk ke dalam daftar sepuluh besar.
Narasumber ketiga adalah Bapak Calvin Khoe, Excecutive Secretary Foreign Policy Community Indonesia (FPCI). Beliau menyarankan perlunya rumusan target yang bisa diukur, seperti ekonomi, climate change, dan energy transition. Nilai-nilai yang telah dibicarakan di ASEAN juga bisa diangkat Indonesia dalam hubungannya dengan negara-negara Pasifik, seperti misalnya Treaty of Amity and Coperation (TAC). Pendekatan melalui peran Indonesia di Non Aligned Movement (Gerakan Non Blok) juga dapat menjadi angle yang strategis. Peran Indonesian AID (LDKPI) perlu ditegaskan dalam GDSKPE. Terkait dengan keterbatasan anggaran, Indonesia perlu melibatkan pihak swasta dalam penguatan hubungan dengan negara-negara Pasifik.
Masukan penting disampaikan oleh para peserta yang mewakili Kementerian dan Lembaga terkait. Format kerjasama Triangular bisa dikembangkan dengan negara-negara maju seperti Australia untuk mengatasi keterbatasan anggaran, sebagaimana telah dilakukan antara ASEAN dan Australia. Penekanan pada peran Lembaga Pengelola Dana Kerjasama Pembangunan Internasional juga dipandang penting, supaya sejalan dengan dua grand design lain yang sedang disiapkan Kementerian Luar Negeri.

Tim Kajian Pacific Elevation PACIS Unpar terdiri dari Yulius P Hermawan, Jessica Martha, Idil Syafwi, Aknolt Pakpahan, Ratih Indraswari dan Kishino Bawono, dan didukung oleh peneliti mahasiswa Adelia Jessica Salim, Najwa, Muhammad Rafi, Eunike dan Flint. Tim kajian selanjutnya akan menindaklanjuti masukan-masukan tersebut dalam bentuk laporan final.