Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu) terus melakukan berbagai upaya dan strategi dalam rangka memperkuat posisinya sebagai garda terdepan diplomasi Indonesia. Penguatan posisi ini diperlukan mengingat semakin besarnya tantangan yang dihadapi dalam konteks perkembangan geopolitik yang sangat dinamis.
Pada tanggal 20 Juni 2024, Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kemenlu menyelenggarakan Focus Group Discussion Stoctaking Tantangan dan Dinamika Sanksi Dewan Keamanan PBB dan Sanksi Unilateral di Bandung. Kegiatan FGD tersebut bertujuan untuk memberikan overview kepada Kementerian, Lembaga, dan pelaku bisnis mengenai isu sanksi DK PBB dan sanksi Unilateral pada tatanan global, sekaligus diseminasi informasi mencakup sanksi DK PBB dan sanksi Unilateral, khususnya mencakup negara dan/atau entitas yang terkena sanksi, jenis sanksi yang diberlakukan dan implikasi hukum.
FGD tersebut juga dimaksudkan untuk mendiskusikan berbagai perkembangan pembahasan isu sanksi DK PBB dan sanksi Unilateral, khususnya dalam tingkat nasional, melakukan pertukaran dan penyamaan persepsi mengenai measures nasional yang diperlukan berkenaan dengan sanksi DK PBB dan sanksi unilateral, melakukan jejaring masukan terkait tantangan dan permasalahan utama bagi pemangku kepentingan berkaitan dengan sanksi DK PBB dan sanksi Unilateral, serta mengidentifikasi elemen-elemen yang diperlukan untuk membuat database rezim sanksi dan pedoman prosedur memperoleh pengecualian dan/atau otorisasi dari pemberi sanksi yang dapat menjadi rujukan bersama, termasuk dunia usaha, dalam menghadapi/antisipasi dampak sanksi PBB dan sanksi unilateral yang ada.

Ketua Parahyangan Center for Internasional Studies (PACIS) menjadi pembicara pada Panel Sesi pertama dengan tema Overview Sanksi DK PBB dan Sanksi Unilateral. Pada panel tersebut, juga hadir sebagai pembicara adalah Direktur Keamanan International dan Perlucutan Senjata, Kepala Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika dan perwakilan dari Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan (PPATK).
Dalam paparannya, Yulius P Hermawan menyampaikan overview tentang sanksi DK PBB dan sanksi unilateral Amerika Serikat yang sedang berlangsung saat ini dan dampak ekonomi bagi negara-negara terkena sanksi. Disampaikan bahwa sanksi multilateral dan unilateral telah berdampak buruk di sisi ekonomi maupun politik. Di sisi ekonomi, telah membuat perekonomian negara-negara tersebut memburuk, bahkan setelah sanksi multilateral tersebut dicabut. Dalam beberapa kasus, pencabutan sanksi multilateral tidak diiringi dengan pencabutan sanksi unilateral. Di sisi politik, pemerintahan kesulitan untuk membangun kekuatan otoritatif yang efektif dalam mengembalikan stabilitas negara, bahkan pasca PBB mencabut sanksi tersebut.
Ketua PACIS tersebut juga memaparkan hasil kajian eksploratif atas dampak penerapan sanksi multilateral dan unilateral tersebut bagi Indonesia yang telah membangun kemitraan ekonomi dengan negara-negara yang sedang terkena sanksi tersebut. Di antaranya adalah penurunan volume ekspor komoditas unggulan di negara-negara tersebut. Pasca pencabutan sanksi, sulit membangun kepercayaan pelaku bisnis untuk kembali membangun hubungan dagang dengan negara-negara tersebut mengingat pertimbangan risiko ekonomi yang masih menjadi pertimbangan utama.
Dalam kesempatan tersebut, Yulius P Hermawan mengingatkan banyak penerapan sanksi yang bias kepentingan dari negara-negara anggota DK PBB. Pola-pola alignment di antara negara-negara anggota tetap DK PBB dan kepentingan masing-masing untuk tetap mempertahankan pengaruhnya dalam politik internasional menjadi faktor yang seringkali berpengaruh mengapa negara-negara tersebut menyetujui, menolak ataupun abstain dalam keputusan terkait jatuhnya sanksi maupun perpanjangan dan pencabutan sanksi dalam Dewan Keamanan PBB. Sanksi unilateral yang diterapkan oleh Amerika Serikat menjadi instrumen negara tersebut untuk mempertahankan posisinya di tengah perubahan geopolitik saat ini.
Dalam konteks tersebut, Ketua PACIS mengingatkan bahwa ini adalah saat yang tepat bagi Indonesia untuk berpikir dan bertindak layaknya emerging power. Indonesia dapat memainkan perannya sebagai compliant state tetapi dengan posisi yang kuat, cermat dan strategis dalam menyikapi penerapan rejim sanksi. Tentu saja Indonesia tetap harus mengamankan hubungan ekonominya dengan negara-negara terdampak sanksi, dan penanganan tersebut perlu dilakukan secara terlembaga yang responsive. Penting pula diinisiasi pembentukan kelembagaan nasional terkait rejim sanksi dengan membentuk dasar hukum yang kuat, satuan tugas khusus dan proses bisnis yang jelas.
Yang sangat urgent dilakukan adalah dibangunnya suatu database yang terintegrasi dan dapat diakses publik secara mudah. Database tersebut memuat informasi terupdate tentang rejim sanksi yang sedang berlaku, negara-negara yang terkena sanksi dan list to do and not to do yang perlu diketahui para pemangku kepentingan yang memiliki hubungan dengan negara-negara terkena sanksi. Dengan database yang lengkap, potensi-potensi kerugian dapat dihindarkan. Demikian pula, jika sanksi telah dicabut, Indonesia dapat menjadi negara pertama yang membantu pemulihan ekonomi negara tersebut dan sekaligus mengoptimalkan manfaat hubungan ekonomi dengan negara tersebut.
