Forum Debriefing Kepala Perwakilan RI: Meneguhkan Arah Diplomasi Ekonomi Indonesia di Kawasan Amerika Latin

Bandung, 4 November 2025 – Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia bekerja sama dengan Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) menyelenggarakan Forum Debriefing Kepala Perwakilan RI bertajuk “Diplomasi Ekonomi Indonesia di Kawasan Amerika Latin”. Kegiatan ini berlangsung secara hybrid di Ruang Audio Visual, FISIP Unpar, dengan menghadirkan dua Duta Besar RI untuk kawasan Amerika Latin, yakni Duta Besar Muhammad Anshor (Republik Chile, 2019–2025) dan Duta Besar Mayjen TNI (Purn.) Dr. Imam Edy Mulyono (Republik Bolivarian Venezuela, 2020–2025). Forum ini dipimpin oleh Dr. Leonard F. Hutabarat, Ph.D. (Direktur Politik dan Keamanan Internasional BSKLN) sebagai moderator, dengan tujuan untuk mengidentifikasi arah baru diplomasi ekonomi Indonesia di kawasan Amerika Latin dan Karibia dalam menghadapi dinamika geopolitik global, sekaligus mengevaluasi capaian strategis misi diplomatik Indonesia di kawasan tersebut.

Acara dimulai dengan sambutan dari Bapak Muhammad Takdir, Kepala Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Dalam pemaparannya, beliau menegaskan bahwa kawasan Amerika Latin dan Karibia memiliki potensi besar bagi penguatan ekonomi Indonesia, terutama karena kawasan ini mencakup lebih dari 650 juta penduduk dengan permintaan pasar yang terus tumbuh.

Namun, di balik peluang yang besar tersebut, Bapak Takdir juga mengingatkan adanya sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi. Beliau menyoroti persoalan volatilitas mata uang, tingkat inflasi yang tinggi, dan perubahan kebijakan ekonomi yang kerap tidak konsisten, yang menjadi hambatan utama dalam memperluas kerja sama ekonomi Indonesia di kawasan tersebut. Selain itu, ketergantungan sebagian besar negara Amerika Latin pada ekspor komoditas tunggal juga menciptakan kerentanan ekonomi yang perlu diperhitungkan secara strategis.

Lebih jauh, beliau menjelaskan bahwa risiko politik dan regulasi yang fluktuatif menjadi salah satu faktor paling krusial. Sistem kepabeanan dan logistik yang rumit, ditambah dengan jarak geografis yang cukup jauh dari Indonesia, sering kali menimbulkan biaya pengiriman yang tinggi dan proses perizinan yang memakan waktu. Tidak hanya itu, keterbatasan akses pasar akibat kebijakan proteksionis di sejumlah negara juga masih menjadi tantangan yang nyata bagi pelaku ekspor Indonesia.

Dalam memberikan perbandingan, Bapak Takdir mencontohkan Chile sebagai negara dengan stabilitas politik yang relatif tinggi, yang tercermin dari indikator risiko pada level 4. Sebaliknya, Venezuela menghadapi krisis legitimasi negara (state legitimacy risk) yang mendekati skala 10, dipicu oleh krisis politik dan ekonomi berkepanjangan, meskipun memiliki cadangan minyak terbesar di dunia.

Lebih lanjut, beliau menyoroti bahwa Venezuela kini menjadi titik panas rivalitas geopolitik antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Peningkatan kehadiran militer AS di kawasan Karibia menunjukkan bagaimana dinamika geopolitik di kawasan ini turut mempengaruhi stabilitas regional. Menanggapi hal tersebut, Bapak Takdir memperkenalkan istilah “kinetic diplomacy”, yakni bentuk diplomasi yang melibatkan penggunaan kekuatan militer untuk memperkuat posisi politik di kawasan.

Duta Besar Muhammad Anshor: Diplomasi Ekonomi Perlu Pendekatan yang Adaptif dan Berjenjang

Sesi berikutnya merupakan paparan oleh Bapak Duta Besar Republik Indonesia untuk Chile, Muhammad Anshor, yang memberikan pandangan mendalam mengenai strategi diplomasi ekonomi Indonesia di kawasan Amerika Latin dan Karibia. Dalam pemaparannya, beliau menggambarkan kawasan tersebut sebagai wilayah yang “unik, menantang, sekaligus penuh peluang” bagi perluasan kerja sama ekonomi Indonesia. Menurut Bapak Dubes Anshor, jarak geografis yang jauh tidak seharusnya menjadi hambatan, melainkan pemicu inovasi diplomasi ekonomi yang lebih kreatif dan adaptif.

Lebih lanjut, beliau menekankan pentingnya pemahaman mendalam terhadap konteks regional melalui berbagai mekanisme dialog, salah satunya forum Latin American and Caribbean (LAC). Forum ini, menurutnya, merupakan ruang strategis untuk mengenali dinamika ekonomi, kebijakan perdagangan, serta preferensi pasar di negara-negara Amerika Latin dan Karibia. Beliau mencontohkan Chile sebagai salah satu negara dengan kebijakan perdagangan bebas yang progresif dan keterbukaan tinggi terhadap kemitraan lintas kawasan, menjadikannya mitra potensial bagi Indonesia dalam memperluas jejaring ekonomi di wilayah tersebut.

Dalam konteks politik kawasan, Bapak Dubes Anshor menggarisbawahi bahwa fluktuasi politik merupakan karakter inheren di Amerika Latin, namun stabilitas dapat dibangun melalui pendekatan ekonomi yang saling menguntungkan. Beliau mengaitkan hal tersebut dengan prinsip good neighborhood policy, yakni kebijakan yang menekankan kerja sama ekonomi sebagai sarana menciptakan stabilitas politik dan kepercayaan antarnegara.

Bapak Dubes Anshor juga menyoroti pentingnya MERCOSUR, blok ekonomi terbesar di Amerika Selatan, yang menurutnya memerlukan strategi engagement yang bersifat berjenjang dan individual terhadap tiap negara anggotanya. Hal ini penting agar diplomasi ekonomi Indonesia dapat berjalan lebih efektif, dengan mempertimbangkan perbedaan kapasitas ekonomi dan dinamika politik domestik di masing-masing negara.

Sebagai capaian konkret, Bapak Dubes Anshor menyebut Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement/FTA) antara Indonesia dan Chile yang ditandatangani pada tahun 2022 sebagai tonggak penting dalam diplomasi ekonomi Indonesia. Perjanjian tersebut tidak hanya mencakup sektor perdagangan barang dan jasa, tetapi juga membuka peluang baru dalam pariwisata dan investasi. Beliau menilai bahwa model kerja sama ini dapat menjadi template bagi pembentukan FTA dengan negara-negara lain di kawasan Amerika Latin.

Duta Besar Imam Edy: Venezuela, Energi Strategis, dan Navigasi di Tengah Tekanan Geopolitik

Paparan dilanjutkan oleh Bapak Duta Besar Republik Indonesia untuk Venezuela, Mayjen TNI (Purn.) Dr. Imam Edy Mulyono, yang mengangkat tema “Diplomasi Ekonomi Indonesia di Tengah Kondisi Geopolitik Kawasan Amerika Latin.” Dalam paparannya, beliau menyoroti kompleksitas dinamika ekonomi dan politik di Venezuela, sebuah negara dengan kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, khususnya di sektor minyak dan gas bumi.

Bapak Dubes Imam Edy menjelaskan bahwa potensi besar tersebut belum mampu dioptimalkan karena Venezuela tengah menghadapi hiperinflasi berkepanjangan, beban utang yang tinggi, serta sanksi ekonomi yang diberlakukan oleh Amerika Serikat. Kombinasi dari tiga faktor tersebut menyebabkan terhambatnya aktivitas ekonomi domestik, sekaligus memperlemah kemampuan negara dalam menjaga stabilitas fiskal dan sosial. Lebih lanjut, beliau menguraikan bahwa peta kerja sama ekonomi di Venezuela kini didominasi oleh Tiongkok dan Rusia, dua mitra strategis yang memanfaatkan ruang kosong akibat berkurangnya keterlibatan Amerika Serikat di kawasan tersebut. Data menunjukkan bahwa AS hanya menyalurkan sekitar 1,7% bantuan ke 33 negara di Amerika Latin, sebuah angka yang menegaskan bahwa kawasan ini bukan lagi menjadi prioritas AS dalam kebijakan luar negerinya.

Dalam konteks inilah, Indonesia memiliki peluang untuk memperluas diplomasi ekonomi berbasis energi dan sumber daya alam, terutama melalui pendekatan yang pragmatis dan non-konfrontatif. Menurut Bapak Dubes Imam Edy, Tiongkok memainkan peran dominan di Venezuela melalui investasi teknologi, pembangunan infrastruktur, dan kerja sama militer, sedangkan Rusia lebih berfokus pada dukungan keuangan, diplomasi pertahanan, serta penyebaran informasi strategis untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan. Di sisi lain, Iran turut berperan melalui jaringan OPEC dan blok kerja sama ALBA, dengan memanfaatkan narasi common enemy framing terhadap Amerika Serikat untuk memperkuat solidaritas politik di antara negara-negara Amerika Latin.

Sebagai bentuk kontribusi konkret Indonesia, Dubes Imam Edy menyoroti keberhasilan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) di sektor energi antara Indonesia dan Venezuela untuk periode 2020–2025, yang difasilitasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kerja sama ini dinilai strategis dan visioner, mengingat biaya produksi minyak di Venezuela relatif rendah, sehingga dapat menjadi alternatif penting dalam memperkuat ketahanan energi nasional Indonesia di masa depan.

Analisis Akademik dan Arah Strategis Diplomasi Ekonomi Indonesia

Sebagai pembahas, Prof. Dr. Suke Sukawarsini Djelantik menjelaskan bahwa diplomasi ekonomi adalah “pemanfaatan sumber daya ekonomi sebagai alat untuk mencapai tujuan politik dan kebijakan luar negeri,” baik melalui ekspor-impor, investasi, perjanjian perdagangan bebas, transfer teknologi, maupun bantuan luar negeri. Dalam konteks Amerika Latin, Prof. Suke menilai kawasan ini masih underexposed dalam kebijakan luar negeri Indonesia, padahal memiliki nilai strategis tinggi dalam konteks geoekonomi global. Instrumen tersebut dapat diwujudkan melalui berbagai kanal, seperti aktivitas ekspor–impor, investasi, perjanjian perdagangan bebas (FTA), transfer teknologi, hingga bantuan pembangunan internasional.

Dalam perspektif Prof. Suke, kawasan Amerika Latin dan Karibia masih tergolong underexposed dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Padahal, kawasan ini menyimpan signifikansi geoekonomi dan geopolitik yang sangat tinggi, terutama di tengah perubahan struktur kekuatan ekonomi global. Beliau menyebut kawasan ini sebagai “frontier baru” bagi diplomasi ekonomi Indonesia, bukan sekadar pasar potensial yang menjanjikan, tetapi juga arena strategis di mana kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia tengah berkompetisi untuk memperluas pengaruh ekonomi dan politiknya.

Selain aspek ekonomi, Prof. Suke menegaskan pentingnya pendekatan soft diplomacy untuk membangun trust dan kredibilitas Indonesia di mata negara-negara Amerika Latin. Instrumen seperti pertukaran budaya, kerja sama pendidikan, program beasiswa, serta diplomasi publik berbasis masyarakat diyakini dapat memperkuat people-to-people connection yang menjadi fondasi bagi hubungan ekonomi jangka panjang.

Forum ini diakhiri dengan sambutan penutup oleh Bapak Vahd Nabyl Mulachela, yang menekankan bahwa Indonesia perlu memperkuat perannya sebagai bridge builder di antara negara-negara Global South, yakni sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan negara berkembang untuk memperjuangkan tata ekonomi dunia yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.

Dokumentasi :

Penulis : Nazwa