A. Irawan J Hartono, Spesialis Ekonomi Politik Internasional, PACIS UNPAR
Selain terlibat persaingan sengit di bidang perdagangan dalam berbagai komoditas ke pasar AS, China juga terseret dalam pusaran persaingan sengit dengan Amerika Serikat dalam produksi microchip, semikonduter yang sangat canggih yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan produk berbasis teknologi tinggi. Presiden Joe Biden telah membatasi akses China terhadap pengembangan teknologi super canggih tersebut, termasuk dengan melarang masuknya produk China di pasar AS. Di bawah Presiden Trump, AS telah memberlakukan pembatasan ekspor Chip ke China yang dapat meningkatkan kemampuan negara tersebut untuk membangun sistem persenjataan dan kecerdasan buatan. Ketegangan AS dan China di bidang teknologi microchip yang telah berlangsung sejak kepemimpinan Biden ini diproyeksikan akan semakin meningkat di masa mendatang. Pakar ekonomi politik Internasional PACIS Unpar, menyampaikan analisanya dalam diskusi point of view di Pojok PACIS, 22 Mei 2025 lalu. Tulisan ini adalah buah pemikiran kedua yang diambil dari diskusi di Pojok PACIS tersebut.
Bagaimana chip war muncul?
Seberapa signifikan dampak Chip War terhadap dunia, kemajuan teknologi dunia dan ketegangan geopolitik di antara negara-negara besar?
Saya akan mulai dengan menjelaskan bagaimana pentingnya semi konduktor. Dan mengapa memang amat beralasan bagi AS dan China untuk berusaha memenangkannya. Yang saya pahami adalah bahwa semi konduktor merupakan teknologi tertinggi saat ini, yang mendasari pengembangan diberbagai hal yang amat luas. Chip dipergunakan dalam produksi barang kebutuhan sehari-hari, teknologi komunikasi (termasuk intelijen), teknologi luar angkasa, dan tentunya persenjataan canggih. Dibidang militer, chip berperan dalam teknologi komunikasi intelijen, drone, pesawat tempur, smart-boms, dan lain sebagainya. Akibatnya, pemenang chip war ini, apakah itu Amerika Serikat atau China, akan mendapatkan leverage yang signifikan dalam mendukung posisi mereka sebagai negara nomor satu di dunia (melalui supremasi produksi, ekonomi, dan militer). Kemampuan pengembangan chip sebagai pendukung kekuatan ekonomi dan militer suatu negara, yang penting dalam persaingan negara-negara besar untuk menjadi global-leader, menjadi dasar terjadinya rivalitas sengit antara AS dan China dalam bentuk chip-war.
Chip War dalam konteks Global Supply Chain
Pemenangan pihak-pihak dalam chip war akan ditentukan oleh sejauh mana mereka dapat mengontrol berbagai ‘nodes’ dalam ‘global semi-conductor supply-chain’. Produksi chip dapat setidaknya dibedakan atas 3 tahapan: designing, mass production, dan proses diantaranya. Perusahaan teknologi seperti Nvidia, AMD, Qualcomm di AS, dan Huawei di China adalah pihak yang berperan dalam designing semi-conductor. Perusahaan yang melakukan mass production adalah TSMC (Taiwan Semiconductor Manufacturing Company), yang berlokasi di Taiwan, juga Samsung di Korea-Selatan. Untuk ATP (Assembly, Testing, Packaging) dilakukan di Penang Malaysia (Intel). Dan yang berada diantaranya adalah ASML (Advanced Semiconductor Materials Lithography) yang berada di Belanda, dengan teknologi lithography-nya. Juga Zeiss di Jerman yang menyediakan instrument pendukung lithography. Sebelum terjadinya chip-war, yang dipandang dimulai pada masa kepresidenan Joe Biden (dapat juga dilihat dimulai dengan penangakapan Meng petinggi Huawei di Kanada 2018), perusahaan-perusahaan ini relative saling terkait satu sama lainnya dalam memproduksi semi-konduktor. Setelah dimulainya chip-war, AS bermaksud mengisolasi China dari jaringan ini.
Dapat difahami bahwa AS dalam chip-war ini juga berupaya mengontrol perusahaan-perusahaan yang berada di luar negaranya: TSMC di Taiwan dan ASML di Belanda. Sejak sekira tahun 2024 TSMC telah didirikan di Arizona AS. Keberpihakan Taiwan disini dapat dimengerti sebagai imbalan atas payung keamanan yang diberikan AS kepada Taiwan dalam menghadapi China. Bagaimana dengan ASML? AS telah mendapat janji ASML untuk tidak menjual teknologi lithography-nya yang tercanggih ke China, teknologi EUV, yang dalam hal ini memberikan keuntungan pada AS. Namun sebagai sebuah perusahaan, ASML tidak menolak tawaran China untuk menjual teknologinya yang tidak lebih canggih dari EUV (Extreme Ultra Violet lithography), yakni teknologi DUV (Deep Ultra Violet lithography).
Dengan kemampuan China untuk mengembangkan teknologi biasa menjadi sesuatu yang canggih, seperti yang terlihat dari munculnya DeesSeek yang berkemampuan luar biasa, ada dugaan bahwa China telah mengembangkan teknologi lithography dengan mengembangkannya dari DUV. Lebih jauh lagi, China telah memiliki perusahaan lithography di Shenzen, Naura. Mengingat produksi masal bukan merupakan persoalan besar bagi China, dapat diduga bahwa AS hanya mempunyai sedikit keunggulan dalam persaingan chip-war dengan China.
Bagaimana langkah-langkah AS dan China dalam Upaya Memenangkan Chip-War?
Chris Miller menjelaskan bahwa pemenangan rivalitas chip-war membutuhkan 2 syarat.
Pertama adalah keberhasilan menciptakan semi-konduktor yang unggul. Strategi ‘canibalism’ dengan senantiasa menggantikan produk dengan produk lain yang lebih canggih dapat diterapkan disini. Kedua membangun koalisi dengan perusahaan-perusahaan yang terkait pembuatan semi-konduktor yang berada di luar negeri tersebut (AS misalnya).
Saat ini Amerika Serikat memang sudah panas dingin dan berusaha kuat untuk memenangkan chip war melalui sebuah program yang dinamai Stargate, yang dimulai Januari 2025. Tujuannya adalah untuk menciptakan lapangan pekerjaan, kekuatan ekonomi, dan keamanan nasional. Juga untuk menempatkan AS sebagai pemimpin global infrastruktur AI. Program ini diinisiasi oleh Presiden Donald Trump sendiri, menggandeng institusi negara yakni Kementerian Perdagangan terutama untuk memberi fasilitas penjualan chip secara besar-besaran ke UEA.
Beberapa perusahaan teknologi AS yang berperan dalam segi designing direkrut dalam program ini: Nvidia (untuk memproduksi chip dan server canggih), Oracle (menyediakan infrastruktur cloud), Microsoft (membangun data centre), OpenAI (menyedakan infrastruktur untuk teknologi AI canggih, berpartner dengan G42 membangun data centre), dan lain sebagainya. Sebagai partner di luar AS, direkrut G42, sebuah perusahaan teknologi dari UEA untuk membuat data centre. Dari segi pembiayaan, program ini memasukkan antara lain Softbank dari Jepang (Masayoshi-Son) dan MGX dari UEA.
Bagaimana dengan China?
China telah membangun jaringannya sendiri. Tekanan-tekanan AS tampaknya justru mendorong kemajuan pesat pada industry semi-konduktor China. China telah menggalang usaha untuk menyaingi AS dalam produksi semi-konduktor. Perusahaan yang dimobilisasi untuk memenangkan chip-war ini antara lain adalah SMIC, Huawei, Xiaomi, DeepSeek, dan Alibaba. Salah satu keunggulan perusahaan teknologi China adalah inovasi yang mampu dilakukannya dengan menggunakan material yang tidak terlalu baru dan advance, namun kemudian menghasilkan sesuatu yang luar biasa, misalnya yang ditunjukkan oleh DeepSeek. Keunggulan lain yang terkait dengan kemampuan teknologi canggih China, yang tidak langsung dalam memproduksi semi-konduktor, misalnya kemampuannya mendaratkan pesawat di bulan (program Chang-e), dan juga keunggulan jet tempurnya (J10), yang harganya hanya sekira seperlima dari pesawat tempur yang berhasil dikalahkannya (Rafale), dalam perang Pakistan-India baru-baru ini (2025). Chip terakhir yang berhasil diproduksi Nvidia sekarang adalah Nvidia Blackwell Ultra, sedangkan Huawei adalah Ascent 910C, di mana keduanya diperkirakan mempunyai kemampuan yang kurang lebih setara. Huawei juga telah mengembangkan OS nya sendiri, HarmonyOS namun masih berlaku secara terbatas (di China).
Dapat dilihat bahwa AS tampaknya telah memenuhi kedua persyaratan pemenangan chip-war (Chris Miller), sedangkan China tertinggal dalam hal koalisi dengan negara lain yang menjadi bagian rantai pasok semi-konduktor global. Namun China dapat melakukan ‘learning-process’ yang amat cepat dalam pembuatan chip canggih. Disamping itu China unggul dalam menjaga struktur yang dibangunnya, dimana ‘kebocoran’ (tindakanan yang menyimpang) dari pihak-pihak yang berada dalam struktur tersebut dapat dikatakan sangat minim. Hal yang disebutkan terakhir tampaknya tidak terjadi dengan struktur yang dibangun AS, dimana ada potensi perusahaan-perusahaan mengembangkan ‘plan-B’ bila pelaksanaannya merugikan mereka.
” … China dapat melakukan learning process yang amat cepat dalam pembuatan chip canggih …. unggul dalam menjaga struktur yang dibangunnya.”
Bagaimana akhir dari chip-war?
Ada dua scenario dalam hal ini.
Yang pertama menyatakan bahwa akan ada dua sistem teknologi digital yang terpisah secara mutlak, sistem yang dikembangkan AS dan sistem yang dikembangkan China. Skenario kedua adalah terjadinya kerjasama terbatas (selected-collaboration) antara keduanya dibidang produksi chip. Jadi akan ada kerjasama dibidang-bidang yang tidak sensitive, sedangkan pada bidang yang sensitive kedua belah pihak tetap mengamankannya bagi diri sendiri. Menurut penulis, skenario yang lebih mungkin terjadi adalah yang kedua. Bila memang hal ini yang akan terjadi, maka produk-produk yang didukung semi-konduktor tercanggih akan diproduksi berdasarkan (selected-collaboration) dua sumber: AS dan China. Di sini akan dapat dilihat bahwa komponen-komponen yang tidak sensitive akan dapat berasal dari keduanya, bahkan bisa juga dari pihak ketiga.
Bagaimana posisi Indonesia dalam sistem yang akan terbentuk pasca chip-war?
Besar kemungkinan bahwa konsumen Indonesia akan diuntungkan karena kedua belah pihak akan menawarkan produk-produk berteknologi tinggi dengan harga yang tidak terlalu tinggi, sebagai dampak dari persaingan mereka. Apa yang dapat dilakukan Indonesia dalam posisi sebagai produsen? Pemasok produk-produk teknologi, terutama semi-konduktor, dapat dibagi atas 4 lapisan. Pada lapisan pertama/tertinggi dan kedua adalah Nvidia, Oracle, Intel, dan lainnya. Indonesia berada pada lapisan keempat.
Menurut pandangan penulis Indonesia akan mempunyai kesempatan untuk mengisi rantai pasokan semi konduktor pada produk-produk yang tidak terlalu sensitive, bukan pada produksi semi-konduktor itu sendiri, namun pendukung dari produk yang menggunakan semi konduktor (pada ATP misalnya). Walau dengan berat hati, perlu diakui bahwa keingingan untuk mengisi, menjadi supplier semi-konduktor utama, artinya bersaing dengan perusahaan-perusahaan teknologi di lapisan pertama dan kedua bukan merupakan sesuatu yang realistic untuk saat ini. Bagaimanapun, walaupun dalam peran yang terbatas, Indonesia perlu memikirkan untuk tidak hanya berperan sebagai pasar, namun sebagai bagian dari rantai pasokan semi konduktor global, atau setidaknya ditingkat regional, walaupun bukan dalam elemen-elemen kuncinya
“.. Indonesia akan mempunyai kesempatan untuk mengisi rantai pasokan semi kondutor apda produk-produk yang tidak terlalu sensitive, bukan pada produksi semi-konduktor itu sendiri,…”.
Seberapa jauh potensi persaingan militer China dan AS akan terjadi?
Dengan memakai perspektif Organski, terlihat bahwa persaingan untuk menempati tempat teratas sebagai global leader telah terjadi di ranah ekonomi, dan teknologi. Persaingan dibidang militer, yang telah sempat terjadi namun tidak dalam skala penuh/langsung, terkait masalah kedaulatan Taiwan, yang didukung AS, dan klaim China dalam bentuk Nine (sekarang Ten)-Dash Line, yang ditentang AS. Namun hal ini belum mencapai titik didihnya, sehingga siapa yang unggul belum benar-benar jelas. Yang sampai saat ini dapat diamati adalah bahwa dalam bidang ekonomi dan teknologi, hanya tersisa sedikit margin keunggulan dipihak AS, yang sewaktu-waktu dapat dilewati China.
Hal yang cukup mengkhawatirkan adalah rencana AS membangun Golden-Dome, suatu sistem pertahanan yang bersifat defensive dan offensive di luar angkasa. Sistem ini akan melindungi AS dari serangan yang berasal dari permukaan bumi atau dari fasilitas yang ditempatkan di luar angkasa. Sistem ini tentunya juga akan mempunyai sisi ofensif-nya. China telah mengemukakan kekhawatirannya dalam hal ini. Pembangunan fasilitas militer di ruang angkasa mensyaratkan supremasi teknologi digital, dimana tulang punggungnya adalah pemilikan semi-konduktor yang unggul. Dalam konteks ini, rivalitas keduanya dalam chip-war akan dapat melebar kebidang rivalitas militer, dengan penggunaan persenjataan dan fasilitas-fasilitas super canggih. Rivalitas AS-China dalam chip-war tidak saja relevan dalam hal dominasi ekonomi global, tapi juga dalam supremasi militer. Kalau tidak dicegah, rivalitas semi-konduktor dapat menyeret kedua negara kedalam rivalitas militer yang berbahaya. Semoga hal ini tidak terjadi.
… Hal yang cukup mengkhawatirkan adalah rencana AS membangun Golden-Dome, suatu sistem pertahanan yang bersifat defensive dan offensive di luar angkas.”
Sumber:
Wall-street Journals.
Financial Times
Time
The Washington Post.
Chris Miller, Chipwar: The Fights for the World’s Most Critical Technology, Scribner, 2022.

Keterangan Narasumber:
Adelbertus Irawan J Hartono menyelesaikan program sarjana di Jurusan Hubungan internasional Unpar, program magister di Universitas Leeds, Inggris dan program doktoral di Universitas Groningen, Belanda.