Perang-Dagang: Upaya Berbiaya Tinggi AS dalam Mempertahankan Posisinya sebagai Global-Leader

A. Irawan J. Hartono, Ph.D, Spesialis Ekonomi Politik Internasional, PACIS Unpar

Perekonomian global dihadapkan pada situasi ketidakpastian sejak awal Februari 2025 ketika Presiden Trump mengumumkan dinaikkannya tarif resiprokal atas impor produk asing yang masuk ke Amerika Serikat. China merupakan salah satu negara yang menjadi target utama AS dalam perang dagang di era Kepresidenan Trump jilid 2 ini. Berikut adalah pandangan A. Irawan J Hartono, spesialis Ekonomi Politik Internasional, PACIS Unpar yang disampaikan pada diskusi Point of View Pakar Ekonomi Politik Internasional di Pojok PACIS, 22 Mei 2025.

Pentingnya Menempatkan Perang Tarif dalam Konteks Strategi AS tetap Menjadi Pemimpin Global

Pertama-tama yang kita perlu lakukan adalah meletakkan trade wars ini di dalam sebuah konteks yang lebih besar. Bagi saya sendiri, walaupun trade wars ini dilakukan dalam bentuk tarif, tetapi ini sebenarnya adalah sebuah bagian dari sebuah skema yang jauh lebih besar. Apa itu? Rivalitas di antara negara-negara besar.

Saya mengacu pada beberapa literatur penting, misalnya dari Organsky dan Susan Strange. Ilmuwan-ilmuwan ekonomi politik internasional tersebut menjelaskan bahwa dominasi negara-negara itu ditentukan oleh beberapa hal. Pertama adalah supremasi mereka di bidang militer, kedua di bidang ekonomi, ketiga di bidang value, atau juga diplomasi, dan keempat adalah di bidang teknologi.

Dalam konteks inilah saya melihat trade wars bukan sekadar perang tarif atau sebuah rivalitas hanya di bidang perdagangan semata, tetapi ini adalah sebuah perjuangan (struggle) dari sebuah negara besar, dalam hal ini Amerika Serikat, yang semula menempati posisi tertinggi dalam distribusi power global, yang cukup aman, tapi kemudian merasa terusik dengan munculnya penantang yang semakin kuat.

Perang tariff yang belakangan menguat bukan sekadar sebuah persaingan perdagangan, tetapi bagian dari strategi Amerika Serikat untuk tetap berupaya untuk tetap menjadi pemimpin global.

Apakah Amerika Serikat akan berhasil menjaga dominasinya dalam perekonomian global? Secara khusus, apakah AS akan keluar sebagai pemenang dari perang tarifnya dengan China?

Ini sebuah hal yang sangat penting. Terdapat proyeksi ke depan dari para analis ekonomi internasional yang menyebutkan bahwa China akan menjadi perekonomian yang paling kuat di masa yang akan datang.

Saya flashback sedikit bagaimana China ini menjadi seperti apa yang kita lihat sekarang.

Kita tahu bahwa China di jaman dahulu merupakan sebuah contoh kegagalan ekonomi. Namun, sejak Deng Xiaoping memimpin negeri tersebut masuklah MNC-MNC dari luar China yang kemudian menjadi basis bagi pertumbuhan ekonomi mereka, terutama di bidang produksi, yang kemudian diekspor ke berbagai pasar global secara amat berhasil.

Apa yang dilakukan atau dimulai oleh Deng Xiaoping ini merupakan sesuatu miracle. Kenapa miracle? Karena China itu mengalami dua dekade dengan angka pertumbuhan ekonomi sekira 10%, sesuatu yang tidak pernah berhasil dicapai oleh negara manapun.

Pertumbuhan China ini memberi shock pada Amerika Serikat pada saat ini. Amerika Serikat melihat kemajuan China disebabkan oleh cara China mengkopi teknologi-teknologi dari negara-maju dan dengan demikian melakukan berbagai pelanggaran hak cipta. Namun, Amerika Serikat juga tidak bisa melakukan apa-apa karena kemampuan ekspansi pasar China yang begitu besar.

Perkembangan China selanjutnya adalah ketika China berada di bawah kepemimpinan Xi Jinping. Xi Jinping ini membawa China lebih jauh lagi dalam perekonomian global. Kalau Deng Xiaoping itu sekedar membuka China untuk investasi asing, yang masuk dengan dananya dan teknologinya, yang kemudian dikopi dan dikembangkan oleh China.

Xi Jinping melalui Belt and Road Initiative 2015 berhasil membawa teknisi-teknisi, para ekspert, dan perusahaan-perusahaan China melakukan ekspansi besar-besaran keluar melalui berbagai proyek Belt and Road Initiative (antara lain di Afrika, Eropa dan Asia, Indonesia, dengan Kereta Cepat Jakarta Bandung). Kita bisa melihat bahwa China telah meluaskan pengaruhnya, bukan lagi melihat dan memperkuat ke dalam, tetapi melihat dan memperkuat keluar.

Saya merasa inilah yang menjadi mimpi buruk bagi Amerika Serikat, karena China melakukannya dengan cukup masif. Walaupun muncul berbagai kritik-kritik terhadap investasi China seperti penciptaan debt trap dan hal lain-lain, yang sebagian mungkin betul, tetapi kita bisa lihat cukup banyak negara-negara yang merespon positif terhadap investasi China. Respon positif tersebut misalnya ditunjukkan oleh banyak negara dari Afrika.

Nah, ini adalah perkembangan positif yang dialami oleh China.

Ketika China bertumbuh, AS justru mengalami sejumlah tantangan-tantangan besar, seperti terjadinya krisis finansial di tahun 2008. Krisis ini merupakan negasi tentang the perfection of the United States/liberal economy (sempurnanya perekonomian AS).

“Ketika China bertumbuh, AS justru mengalami pelemahan ekonomi.”

Jadi bisa dilihat secara ekonomi, di satu pihak, Amerika Serikat itu mengalami perlemahan, tetapi di lain pihak, China ini mengalami penguatan. Fakta ini adalah sesuatu yang telah terjadi.

Donald Trump, baik pada periode kepresidenan pertama, dan pada kepemimpinan di periode kedua saat ini, tetap konsisten dalam mempersepsikan tentang China sebagai musuh Amerika Serikat yang bisa mengambil alih tempatnya di puncak kekuasaan global.

Oleh sebab itu, Presiden Trump melancarkan berbagai strateginya, termasuk menaikkan tarif terhadap impor produk-produk dari China yang masuk ke AS. Awalnya tarif berkisar 10-25 persen, yang hanya ditujukan kepada China. Namun kemudian kebijakan tarif ditujukan bukan hanya kepada China saja tetapi juga kepada negara-negara lain seperti Uni Eropa, Meksiko dan termasuk Indonesia, walaupun China tetap target utama.

Apa yang dilakukan Presiden Trump ini adalah sebuah upaya dari hegemon yang sedang bleeding, yang mengalami pelemahan, tetapi kemudian tetap berusaha untuk menaikkan posisinya dengan mencegah negara rival yang paling kuat, yakni China, untuk maju lebih cepat lagi.

“Apa yang dilakukan Presiden Trum adalah sebuah upaya dari hegemon yang sedang bleeding….”

Baik AS dan China akan Mengalami Damage akibat Perang Tarif

Bagaimana kira-kira hasilnya? Hasilnya memang masih agak tidak terlalu jelas, tetapi kita bisa lihat bahwa dua-duanya mengalami damage.

Yang pertama, kita bisa lihat ada 33 atau 50 perusahaan yang ada di China, kemudian keluar dari China. Keluarnya perusahaan tersebut merupakan sebuah indikasi bahwa tarif itu mulai efektif pada Trade-War pertama.

Pada saat itu, kita mengharapkan dari jumlah 30-an tersebut akan ada yang berpindah ke Indonesia, tetapi ternyata hal itu tidak terjadi. 24 dari antara mereka justru memilih Vietnam.

Kedua, bagaimana damage yang dialami oleh China? Kita bisa lihat bahwa China mengalami beberapa krisis. Salah satu krisis yang terjadi adalah krisis perumahan, Evergrande dan Sydney Gardens, yang mempunyai efek cukup kolateral di China sendiri.

Ketiga, terjadi pelemahan pada perekonomian China, termasuk pada ekspor dan pertumbuhan ekonominya.

Tetapi nampaknya, kalau kita melihat pada pergembangan-pergembangan terakhir, tarif agresif yang dilancarkan oleh Donald Trump tersebut justru backfire kepada Amerika sendiri. Amerika sendiri ternyata harus mengakui bahwa perekonomian Amerika itu sangat tergantung pada barang-barang dari China. Ketersediaan barang kebutuhan pokok di AS mulai terganggu, dan ancaman resesi makin menguat. Respon China terhadap tariff tinggi AS juga turut melemahkan perekonomian AS. Misalnya dengan memberikan tarif yang juga amat tinggi pada produk ekspor AS ke China (mengurangi keuntungan perdagangan AS), penolakan pembelian Boeing sebagai salah satu komoditas unggulan AS (mengurangi pendapatan perdagangan AS), penjualan besar-besaran surat berharga AS (menggerogoti kepercayaan pasar global atas kondisi finansial AS).

Kita bisa lihat ancaman resesi dan ancaman inflasi itu sudah merupakan sesuatu yang nyata.

Di sini saya melihat bahwa setidaknya dari evaluasi hari ini, kita bisa melihat bahwa damage itu lebih dialami justru oleh Amerika Serikat daripada oleh China.

Bagaimana kedepannya?

Walaupun masih belum benar-benar jelas, namun dapat dipastikan bahwa China akan makin mensejajari posisi ekonomi Amerika Serikat.  

“Bahwa China akan makin mendekati posisi ekonomi Amerika Serikat merupakan sesuatu yang mungkin terjadi”

Ada upaya-upaya untuk melemahkan ekonomi Amerika Serikat dari China. Misalnya dengan menjual bond yang dapat menimbulkan distress terhadap ekonomi Amerika. Kemudian penolakan Boeing, penolakan China atas produk Boeing, China, Boeing Amerika Serikat, juga penolakan atas produk agriculture dari Amerika Serikat.

Keberanian China melawan kebijakan tariff AS (penaikan tariff secara ekstrim, menolak membeli Boeing, penolakan pembelian produk pertanian AS, penjualan bond AS secara besar-besaran), dan dampak negative yang diakibatkannya terhadap perekonomian AS menunjukkan bahwa kebijakan unilateral AS (Perang-Dagang) tidak memberikan hasil yang signifikan, yang mampu melemahkan China. AS, dan dunia tampaknya harus siap untuk menerima munculnya ‘a multi-polar global economy’, dimana akan ada beberapa pusat kekuatan ekonomi global (diantaranya tentunya adalah AS dan China) yang eksis secara bersamaan dengan berbagai aturan dan kecenderungannya yang berbeda. Perlu kerja keras dari berbagai pihak (termasuk oleh Indonesia) untuk menguatkan kembali perekonomian global yang didasari oleh multilateralisme (yang melemah akibat Perang-Dagang ini), dimana consensus dan bukan kekuatan ekonomi semata yang berperan didalamnya.

Semoga akal sehat tetap menang dalam masa yang tidak menentu ini!

Adelbertus Irawan J. Hartono, Ph.D menyelesaikan studi sarjana di Universitas Katolik Parahyangan, program magister di Universitas Leeds, Inggris dan program doktoral di Universitas Groningen, Belanda. Beliau mengajar Matakuliah Ekonomi Politik Internasional dan Pemerintah, Bisnis dan Masyarakat di program studi Hubungan Internasional dan program magister Hubungan Internasional Unpar.