“Selat Taiwan dalam Perubahan Peta Geopolitik: Meninjau Masa Lalu, Membuka Jalan Menuju Masa Depan yang Lebih Baik”

Seminar Internasional, 28 Mei 2025, Format Hybrid, @Mgr Geisse Lecture Theatre, Unpar.

Selat Taiwan masih merupakan salah satu wilayah paling rawan di dunia. Diperkirakan bahwa jika terjadi perang terbuka di perairan ini, dampaknya akan sangat besar terhadap tatanan dunia dan ekonomi global. Selat Taiwan telah menjadi kawasan ketegangan geopolitik sejak berakhirnya Perang Saudara Tiongkok (1945–49) dan penarikan mundur pemerintah dan tentara Chiang Kai-shek ke Formosa dan pulau-pulau sekitarnya yang kini dikenal sebagai Taiwan. Amerika Serikat, yang awalnya menyatakan tidak akan terlibat dalam krisis di Tiongkok, akhirnya memutuskan untuk mengirim Angkatan Lautnya ke wilayah tersebut untuk mencegah invasi dari Tiongkok. AS kemudian menjadi sekutu Taiwan dan menjaga keamanan “entitas politik” tersebut dari kemungkinan invasi Tiongkok.

Ketegangan di wilayah Selat Taiwan telah berkali-kali memuncak sejak tahun 1950-an. Krisis Selat Taiwan pertama terjadi pada tahun 1954–55, ketika Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China mengebom tiga pulau yang dikuasai Taiwan: pertama Pulau Quemoy (Jinmen), diikuti oleh Matsu dan Dachen. Taiwan memiliki kepentingan strategis vital dalam mempertahankan pertahanannya melalui penguasaan tiga pulau tersebut. Krisis Selat Taiwan kedua terjadi pada 1958, ketika China membom pulau Jinmen dan Matsu.  

Krisis Selat Taiwan ketiga (1995–96) muncul setelah Amerika Serikat memberikan visa turis kepada Presiden Taiwan Lee Teng-hui pada Mei 1995. Visa tersebut dianggap oleh China sebagai pelanggaran terhadap “perjanjian yang ada” dan “Politik Satu China.” Krisis keempat terjadi pada 2022 dengan kasus serupa dengan krisis ketiga. Pada Agustus 2022, Ketua DPR AS Nancy Pelosi mengunjungi Taiwan, namun—berbeda dengan Lee yang kunjungannya secara resmi sebagai warga negara biasa—Pelosi bertindak dalam kapasitas resmi sebagai pejabat pemerintah AS.

Spekulasi tentang masa depan Taiwan muncul sejak Februari 2022 setelah invasi Rusia ke Ukraina. Ada pertanyaan apakah China akan menyerang Taiwan untuk mengamankan kendali penuh atas seluruh wilayahnya sebagai realisasi akhir Kebijakan Satu China. Ada juga kekhawatiran terkait kebijakan baru Presiden Trump terhadap China, khususnya mengenai tarif timbal balik, dan dampaknya terhadap status Taiwan. Banyak orang melihat status Taiwan sangat bergantung pada komitmen AS untuk mencegah tindakan China dalam menjaga keamanan di pulau-pulau tersebut. Hubungan yang fluktuatif antara AS dan China diperkirakan akan mempengaruhi cara AS mendefinisikan status Taiwan.

Mengingat pentingnya isu Selat Taiwan, Parahyangan Center for International Studies (PACIS) menyelenggarakan seminar khusus untuk memahami situasi terkini di Selat Taiwan.  

Seminar tersebut diselenggarakan pada Rabu, 28 Mei 2025 pukul 01.00-03.00 WIB (Waktu Jakarta) atau 0200-0400 WIB (Waktu Taichung), dalam format hybrid.

Pembicara Utama:

  1. Dr. Chun-Yi Lee, SFHEA
  • Dosen Pembantu, Sekolah Ilmu Politik dan Hubungan Internasional
  • Direktur, Pusat Penelitian Taiwan, Universitas Nottingham

Topik Presentasi: “Apakah Uang Dapat Membeli Hati dan Pikiran Manusia? Tinjauan atas Masalah Ekonomi dan Keamanan Antar-Selat?”

  1. Dr. Tzuli Lin
  • Dosen Pembantu, Departemen Ilmu Politik,
  • Universitas Tunghai, Taiwan
  • Asosiasi Hubungan Internasional (ROC)

Topik Presentasi: “Dilema Keamanan Hubungan Trilateral antara Taiwan, China, dan Amerika Serikat: Ideologi, Identitas, atau Kekuatan?”

Pembahas:

  1. Ratih Indraswari, Ph.D, Ahli Korea-ASEAN
  2. Idil Syawfi, SIP, MA, Ahli Geopolitik dan Diplomasi Pertahanan

Moderator:

Prof. Sukawarsini Djelantik, Ph.D, Ahli Diplomasi Publik

Referensi narasi tentang Krisis Selat Taiwan:

https://www.britannica.com/event/Taiwan-Strait-crises