Relokasi Penduduk Gaza Harus Ditentang

Kishino Bawono, Spesialis Kajian Timur Tengah

Maksud terselubung invasi Israel atas Gaza tampaknya mulai terkuak. Selama ini invasi Israel selalu dibungkus dengan alasan untuk mengembalikan warga Israel yang ditangkap oleh Hamas. Invasi ini juga dikemas sebagai upaya menetralisir ancaman keamanan yang ditimbulkan oleh Hamas. Sejak 5 Mei 2025, sejumlah pemimpin politik Israel dan perwira militer Israel terlihat mulai blak-blakan untuk memakai istilah “sustained presence” di wilayah Gaza dan pendudukan permanen atas wilayah Gaza. Bahkan Israel mengumumkan intensinya untuk melakukan serangan baru yang lebih luas sebagai momen penting bagi Israel untuk mewujudkan rencana tersebut. Israel bahkan ingin menguasai penyaluran bantuan kemanusiaan internasional dengan mengambil peran dalam distribusi bantuan tersebut. Kedatangan Trump ke Timur Tengah dan janji Hamas untuk melepas tahanan warga Israel sepertinya tidak mengubah situasi yang kian memburuk di Jalur Gaza.

Dalam rangka turut menjaga memori tentang peristiwa dan fakta pengungsian massal bangsa Palestina sejak 1948, yang diperingati dalam Hari Nakba di setiap 15 Mei, PACIS melakukan wawancara dengan Kishino Bawono, Spesialis Kajian Timur Tengah Unpar pada 16 Mei 2025. Berikut adalah petikan wawancara PACIS dengan Kishino Bawono, Spesialis Kajian Timur Tengah Unpar.

PACIS: Mengapa gagasan pendudukan Israel di Gaza seolah-oleh tiba-tiba muncul di tengah tekanan internasional untuk terwujudnya gencatan senjata?

Motivasi awal invasi Israel ke Gaza dilatarbelakangi kepentingan untuk menetralisir Hamas dan memulangkan orang-orang yang diculik oleh Hamas. Di atas kertas, bisa dipahami bahwa jika ada orang yang diculik harus dipulangkan dan jika ada ancaman harus dinetralisir.

Namun prakteknya mulai dipertanyakan karena sejak awal retaliasi Israel hingga Israel bisa menguasai wilayah Gaza, setidaknya ada dua Menteri di kabinet Netanyahu, Bezalel Smotrich (Menteri Keuangan) dan Itamar Ben-Gvir (Menteri Keamanan Internal) dari Partai Sayap Kanan yang menginginkan tujuan invasi adalah mengembalikan kondisi di mana Gaza berada di bawah Pemerintah Israel. Situasi ini mengingatkan pada situasi sebelum Perdana Menteri Ariel Sharon mengumumkan unilateral decision tentang Gaza Disengagement Plan untuk menarik pasukan Israel mundur dari Gaza di tahun 2004.

Ada beberapa skenario dari apa yang mereka sekarang sedang lakukan dengan rencana mau menguasai wilayah Gaza. Saya pernah dengar hanya wilayah Utara saja atau seluruh wilayah Gaza. Penguasaan wilayah Gaza ini nampaknya sejalan dengan apa yang dikatakan oleh dua Menteri di Kabinet Netanyahu tersebut.

Netanyahu harus mendengarkan kedua menterinya karena kepentingannya untuk tetap menduduki posisinya sebagai Perdana Menteri. Netanyahu berkepentingan untuk tetap menjaga koalisi di kabinetnya supaya kedudukannya sebagai Perdana Menteri aman. Apalagi ada dugaan beberapa kasus korupsi yang dapat menyeretnya sebagai tersangka. Netanyahu tidak mau jadi tersangka dan karenanya berupaya bagaimana caranya supaya dia mendapatkan political immunity dan kekebalan hukum ini.

Netanyahu perlu tetap membangun koalisi dengan memegang dua Menteri tersebut dan tetap menjaga koalisi tersebut. Kalau mereka pergi koalisinya bubar sehingga dia tidak bisa menjadi prime minister lagi.

Sebetulnya ketika ada usulan gencatan senjata, koalisi internal menolak usulan tersebut. Namun Perdana Menteri Netanyahu meyakinkan kelompok penentang gencatan senjata supaya tenang karena pada akhirnya rencana gencatan senjata akan mudah digagalkan. Keinginan untuk menduduki Gaza akan dengan mudah dipenuhi.

PACIS: Apakah gagasan relokasi penduduk Palestina di Gaza yang disampaikan Presiden Donald Trump merupakan bagian dari skenario pendudukan Gaza secara permanen?

Memang pemerintah Amerika Serikat pernah memunculkan gagasan untuk merelokasi orang-orang Palestina keluar dari Gaza, salah satunya ke Indonesia, dengan berbagai alasan. Gagasan tersebut nampaknya sejalan dengan keinginan Netanyahu untuk menguasai Gaza.

Namun saya sendiri kurang tahu apa yang kemudian akan didapatkan pemerintah dari Israel selain bahwa Israel adalah mitra aliansi tradisional mereka sehingga perlu didukung.

Namun beberapa hari terakhir ini perkembangannya adalah ada speech dari presiden Trump terkait pembebasan Edan Alexander, salah satu warga negara Amerika yang punya dual citizenship Amerika Serikat dan Israel. Dia berbicara bahwa sudah ada itikad baik untuk membebaskan Edan Alexander tersebut, tetapi tidak menyebutkan apakah itu proses negosiasi pemerintahan Amerika Serikat dengan Hamas atau juga melibatkan pemerintah Israel atau enggak.

Namun yang jelas  dalam salah satu postingan di sosial media atau speech-nya Trump menyatakan perlunya mengakhiri perang. Yang harus diingat lagi bahwa Trump itu presiden yang sangat unpredictable. Jadi kadang tiba-tiba pro di sini, kadang habis itu besoknya jadi anti, besoknya berseberangan, besoknya pro lagi.

Nah ini yang agak susah dengan Trump. Beliau sebenarnya inginnya apa karena kalau mau ditanya apakah dia menjalankan frekuensi yang berbasis national interest-nya Amerika Serikat rasanya nggak tahu.

Saya masih belum yakin apakah itu benar kepentingan nasional Amerika Serikat atau dari individu PresidenTrump.

PACIS: Atas nama kemanusiaan, apakah Indonesia perlu mendukung gagasan relokasi penduduk Gaza di Indonesia?

Saya berharap semoga pemerintah Indonesia tidak menyetujui proposal itu untuk kemudian direlokasi ke Indonesia. Karena sentimennya adalah ini proyek Israel untuk mendirikan negara mereka itu akan lebih mudah sukses kalau lebih sedikit orang Palestina yang ada di sana. Ketika memfasilitasi perpindahan penduduk dari sana ke tempat lain mungkin bungkusnya itu adalah bantuan kemanusiaan supaya mereka bisa tinggal di tempat yang lebih aman gitu kan.  Kalau dari bungkusnya baik, tetapi kalau dilihat apa yang di dalamnya, relokasi adalah salah satu bentuk strategi Israel untuk menguasai Gaza secara penuh.

Salah satu komponen dalam genosida adalah forced relocation. Ini yang saya rasa tidak baik untuk disetujui. Nama Indonesia akan menjadi buruk kalau Indonesia menyetujui gagasan relokasi tersebut.

“Forced relocation merupakan salah satu bentuk genosida…. Nama Indonesia akan menjadi buruk kalau Indonesia menyetujui gagasan relokasi tersebut.”

PACIS: Bagaimana kita harus menyikapi rencana operasi serangan lebih besar Israel di Gaza?

Melihat perkembangan situasi terakhir agak susah bagi kita untuk optimis terhadap realita tersebut. Karena ini sudah menjadi cyrcle of violence yang ke sekian banyak. Bahkan kalau kita bicara nakba, demonstrasi besar di mana orang Palestina kemudian merasa lelah setelah Israel berhasil mendirikan negaranya dan kemudian mereka mendeklarasikan kemerdekaan dan sudah memperingatinya ke 77 tahun.

Nasib kelompok orang-orang Palestina ini malah makin terdesak, tidak hanya di Gaza tetapi juga di West Bank.  Jadi satu yang tidak boleh dilupakan adalah orang Palestina juga hadir di Tepi Barat atau di West Bank.

Menurut Al-jazeera, dalam pemberitaannya beberapa hari ini dilaporkan bahwa tentara Israel di sana sudah merelokasi orang-orang Palestina. Tentara Israel mengambil alih tanah-tanah dari orang-orang Palestina dan rumah-rumah mereka. Rumah-rumah tersebut kemudian dirubuhkan untuk nantinya dipakai sebagai pemukiman orang Yahudi dibuat di West Bank.

Totalnya sudah hampir 40 ribuan orang dipindah secara paksa. Jadi sebenarnya kekerasan terhadap orang Palestina tidak hanya terjadi di Gaza, tetapi di wilayah Tepi Barat.

Apa yang membuat kita makin pesimis adalah ketika Perdana Menteri Netanyahu beberapa hari atau beberapa minggu terakhir menyatakan bahwa dia akan calling more reservists menjadi tentara cadangannya. Artinya akan semakin banyak yang akan dipanggil untuk bersiap bertempur.

Asumsinya ketika makin banyak orang yang sebelumnya cadangan tetapi kemudian diaktifkan artinya akan makin banyak operasi militer yang dia lakukan. Operasi ini bisa dilakukan di mana saja, baik di Golan maupun ke wilayah Suriah.

Operasi ini akan makin menancapkan eksistensi mereka di Gaza.

PACIS: Seberapa jauh kedatangan Trump membawa harapan baru bagi perdamaian di Timur Tengah, khususnya bagi bangsa Palestina?

Jawabannya mungkin masih agak pesimis karena di satu sisi selama saya ini belajar tentang politik di Timur Tengah dan konflik Israel dan Palestina, banyak negara Arab itu sebetulnya bermain politik secara praktis dengan bermain di dua muka.

Di satu sisi negara harus bisa menunjukkan kepada publiknya dan kepada publik secara umum. Mereka masih pro Palestina, tetapi di sisi lain ketika ada kebutuhan sendiri untuk mereka sendiri, ada kepentingan nasionalnya, mereka kadang agak menyingkirkan prioritasnya terhadap Palestina.

Situasi itu yang tergambarkan dengan Abraham Accord yang saya lihat bahwa beberapa negara-negara yang kalau kita percaya bahwa politik itu berbasis identitas beberapa negara seharusnya lebih dekat dan pro Palestina.

Tetapi nyatanya karena ada kebutuhan terkait kepentingan nasional mereka, mereka kemudian memutuskan untuk berdamai dengan Israel, dan melakukan normalisasi hubungan dengan negara tersebut. Jadi secara tradisional mereka selalu ngomong sebagai teman Palestina. Namun mereka punya kepentingan-kepentingannya sendiri yang mereka sedang ngejar. Suriah misalnya butuh recovery pasca penurunan Presiden Bashar Al-Assad dan karenanya mereka berharap Amerika Serikat dapat mencabut sanksi yang sebelumnya diberikan kepada Suriah. Negara-negara tetangga juga berharap supaya pengungsi Suriah yang masuk ke wilayah mereka dapat berkurang jika Suriah mengalami recovery.

Di sisi lain beberapa negara lainnya seperti Arab Saudi mempunyai konsen tersendiri untuk mempersenjatai diri mereka, semisal jika ada konflik dengan negara tetangga.

Apakah Trump akan memberikan dampak positif so far masih unpredictable. Saya masih percaya bahwa Presiden Trump tidak selalu bergerak atas kepentingan nasional Amerika Serikat, tetapi dengan kepentingannya beliau atau circle terdekatnya dia. Kalau Trump melakukan pembicaraan kerjasama ekonomi dan membuat kesepakatan dengan negara-negara mitra diharapkan kerjasama ekonomi juga membawa outcome bagi Trump dan orang-orang dekatnya.

Ini terlihat mencolok karena ketika melakukan pembicaraan kerjasama ekonomi, Trump membawa beberapa pengusaha Amerika Serikat yang ada di lingkaran dekatnya, seperti Elon Musk. Sehingga terkesan bahwa Presiden AS ini sangat self interested bukan national interested.

Sehingga kalau kemudian dibalikin ke isu Gaza, tidak dapat dibayangkan apa yang kelompok Palestina, seperti Hamas, Fatah atau apapun bisa tawarkan kepada Presiden Trump dalam rangka bisa menekan Israel.

Jadi saya masih skeptis dan pesimis Presiden Trump akan memberikan dampak positif terhadap orang Palestina.

“…… tidak dapat dibayangkan apa yang kelompok Palestina, seperti Hamas, Fatah, atau kelompok apapun bisa tawarkan kepada Presiden Trump dalam rangka bisa menekan Israel. Jadi saya masih skeptis…Presiden Trump akan memberikan dampak positif terhadap orang Palestina.”

PACIS: Jadi apa yang dunia bisa lakukan untuk membantu Palestina?

Tentu saja kita harus tetap memberikan dukungan penuh kepada bangsa Palestina yang berada dalam situasi sulit saat ini.

Dukungan yang bisa diberikan di antaranya dengan ikut memelihara memori tentang peristiwa dan fakta tentang segala jerih lelah dan upaya bangsa Palestina dalam melakukan perlawanan terhadap  Israel. Ini yang dikenal dengan hari Nakba.

Catatan PACIS tentang Hari NAKBA

Setiap tanggal 15 Mei selalu diperingati sebagai Hari Nakba atau Bencana, yaitu saat di mana terjadi pengungsian massal warga Palestina selama terjadinya perang Arab-Israel di tahun 1948. Pengungsian massal warga Palestina masih terjadi hingga saat ini, setelah 77 tahun warga Palestina dipaksa untuk meninggalkan tempat tinggal mereka di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Tentang Narasumber:

Kishino Bawono, menyelesaikan studi Sarjana di Universitas Gadjah Mada dan Master di School of Oriental and African Studies, University of London (M.Sc), dengan spesialisasi Politik Timur Tengah.

Pemikirannya terkini dapat dilihat di https://jabar.tribunnews.com/2025/01/18/gencatan-senjata-israel-hamas-pengamat-internasional-unpar-donald-trump-tunjukkan-siapa-bosnya dan https://www.youtube.com/watch?v=CwAbtQQa3fo