Pada Senin, 8 September 2025, Parahyangan Center for International Studies (PACIS) menyelenggarakan diskusi dengan Strategic Advisory Unit Kementerian Luar Negeri Belanda bertema “Exploring the Opportunity to Develop Minilateral Cooperation between Indonesia, the Netherlands, and Other Like-Minded Countries” di Ruang Pertemuan FISIP Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Kegiatan ini dimaksudkan untuk berbagi pandangan tentang dinamika arsitektur kawasan di Asia sekaligus menganalisis potensi Indonesia dalam mengembangkan kerja sama minilateral dengan negara-negara mitra.
Di tengah realitas dunia multipolar, terdapat trend perkembangan minilateralisme yakni kerja sama terkait isu-isu tertentu yang melibatkan sejumlah kecil negara dengan dasar kepentingan bersama. Ketua PACIS Unpar, Yulius Purwadi Hermawan, menekankan bahwa Indonesia sebenarnya cukup aktif dalam berbagai inisiatif minilateral. Namun, sebagai emerging middle power, Indonesia tetap bersikap hati-hati. Inisiatif kerja sama tersebut di antaranya fokus pada ranah perdagangan, lingkungan, infrastruktur, dan pembangunan berkelanjutan.
Posisi Indonesia cukup kritis terhadap inisiatif kerja sama di isu high politics yang sensitif, seperti AUKUS. Pertimbangan Indonesia adalah bahwa inisiatif yang digagas Australia, Inggris dan Amerika Serikat dapat berpengaruh terhadap keamanan dan keseimbangan hubungan antara negara-negara ASEAN dengan negara-negara berpengaruh di kawasan seperti China yang juga merupakan mitra dialog ASEAN.
Para peneliti PACIS juga hadir dalam diskusi tersebut, yaitu yakni Aknolt Kristian Pakpahan, Albert Triwibowo, Stanislaus Risadi Apresian, dan Ratih Indraswari. Mereka menyoroti ambiguitas arah politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Prabowo. Partisipasi Indonesia dalam China Victory Day Parade 2025, intensifikasi komunikasi dengan BRICS, serta keterlibatan dalam sejumlah forum bersama Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara, dinilai sebagai strategi balancing power di tengah dominasi negara-negara Barat.
Para peneliti PACIS menekankan bahwa pilihan Indonesia untuk berpartisipasi dalam forum minilateral lebih banyak diarahkan pada isu-isu teknis dan pembangunan ketimbang konstelasi politik-keamanan tingkat tinggi. Contoh nyata terlihat dari keterlibatan Indonesia dalam Indonesia–Malaysia–Thailand Growth Triangle (IMT-GT), SIJORI Growth Triangle bersama Singapura dan Malaysia, Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF), serta Trilateral Cooperative Arrangement (TCA) dengan Malaysia dan Filipina untuk menjaga keamanan maritim di Laut Sulu. Kecenderungan ini selaras dengan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif, yakni menghindari keterikatan dengan blok atau aliansi militer, sembari menjaga fleksibilitas hubungan dengan berbagai kekuatan besar.


Terdapat sejumlah peluang untuk menjalin kerja sama minilateral antara Indonesia dan Belanda dengan negara-negara like-minded countries lain. Di antara isu yang dapat menjadi perhatian kedua negara tersebut adalah di bidang transisi energi dan ekonomi hijau, pengembangan pasar karbon, serta diplomasi pembangunan. Bidang-bidang tersebut dinilai potensial menjadi jembatan bagi penguatan kemitraan Indonesia–Belanda di tengah perubahan arsitektur kawasan Asia yang semakin kompleks.
Penulis : Yulius P. Hermawan