Oleh : Ratih Indraswari
Lokakarya tentang Pendekatan Multidisiplin: Meningkatkan Kesadaran tentang Dua Penyatuan Korea , yang diselenggarakan oleh Ratih Indraswari, PhD dari Universitas Katolik Parahyangan dan didukung oleh hibah dari Kementerian Penyatuan Korea bekerja sama dengan Universitas Wanita Ewha dan Pusat Studi Internasional Parahyangan , mempertemukan beragam kelompok akademisi dan mahasiswa untuk program satu hari yang bertujuan untuk memperdalam pemahaman tentang Semenanjung Korea dan pemisahannya yang telah berlangsung lama. Diselenggarakan di UNPAR, Bandung, dan dihadiri oleh sekitar 80 mahasiswa dari berbagai universitas , acara tersebut berupaya untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan global yang terus-menerus mengenai penyatuan Korea, sebuah isu yang sering keliru dianggap terbatas pada urusan dalam negeri Korea meskipun implikasi regional dan internasionalnya yang signifikan. Tujuan utama lokakarya tersebut adalah untuk mendidik mahasiswa tentang kompleksitas historis dan kontemporer seputar pemisahan Korea Utara dan Selatan, mendorong diskusi mahasiswa yang berorientasi pada kebijakan tentang masa depan hubungan antar-Korea, dan meningkatkan kesadaran tentang bagaimana potensi hasil penyatuan dapat memengaruhi Asia Tenggara, khususnya Indonesia, yang telah mempertahankan hubungan diplomatik yang seimbang dengan kedua Korea.
Program ini terstruktur menjadi dua komponen utama: konferensi akademik yang menampilkan panel pakar multidisiplin, dan meja bundar lokakarya kebijakan yang dirancang untuk mendorong dialog yang dipimpin mahasiswa dan kerangka kerja kolaboratif. Para pembicara program ini semuanya lulusan doktoral dari universitas-universitas di Korea Selatan, yang memberikan pandangan langsung mereka tentang isu-isu dari para alumni. Sesi pertama dibuka oleh Ratih Indraswari, Phd, yang memberikan pengantar tentang sejarah pemisahan Korea, evolusi upaya penyatuan, dan peran potensial ASEAN dalam memfasilitasi perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea. Beliau menekankan pentingnya keterlibatan Asia Tenggara, menggarisbawahi sejarah netralitas diplomatik ASEAN dan posisi unik Indonesia sebagai pembangun jembatan dalam diplomasi regional. Setelahnya, Vimala Asty, Phd, dari Kantor Sekretariat Negara, menyampaikan perspektif yang berfokus pada gender tentang penyatuan, menyoroti bagaimana isu-isu seperti hak-hak perempuan, reintegrasi sosial, dan ketidaksetaraan harus dipertimbangkan dalam kerangka penyatuan di masa depan. Presentasinya mengingatkan para peserta bahwa penyatuan bukan semata-mata masalah politik atau militer. Sesi pertama ditutup dengan wawasan dari Ardila Putri, PhD dari Universitas Pertamina, yang membahas potensi peran diplomasi energi dalam hubungan antar-Korea. Beliau menjelaskan bagaimana ketahanan energi, pembagian sumber daya, dan kerja sama teknologi dapat memainkan peran penting dalam rekonstruksi ekonomi unifikasi.
Sesi kedua memperluas diskusi lebih lanjut dengan mengintegrasikan perspektif pendidikan dan teknologi. Anggia Utami Dewi, PhD dari Universitas Padjadjaran, mengeksplorasi bagaimana unifikasi dapat membentuk kembali jaringan pendidikan internasional dan mobilitas akademik. Presentasinya mendorong mahasiswa untuk mempertimbangkan bagaimana ikatan pendidikan mendorong hubungan antarmasyarakat dan saling pengertian. Pembicara terakhir, Riski Lestiono dari Universitas Muhammadiyah Malang, memperkenalkan perspektif mutakhir: pembelajaran metaverse sebagai alat yang memungkinkan untuk meningkatkan kesadaran dan menjembatani kesenjangan informasi. Ia menjelaskan bagaimana platform digital imersif dapat memfasilitasi dialog lintas batas dan melibatkan mahasiswa dalam diskusi interaktif berbasis teknologi. Presentasinya menawarkan jalan baru bagi inovasi pendidikan dalam studi internasional.
Setelah panel pakar, lokakarya beralih ke lokakarya penulisan, yang memungkinkan mahasiswa menerapkan pengetahuan yang baru diperoleh. Dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, para peserta mengembangkan gagasan kebijakan dan kerangka kerja kolaboratif yang membahas isu-isu dari kerja sama masa depan antara Indonesia, ASEAN, dan kedua Korea. Diskusi menyentuh berbagai bidang seperti kerja sama kemanusiaan, diplomasi budaya, inisiatif iklim, dan pendidikan digital. Mahasiswa didorong untuk berpikir kritis tentang potensi kontribusi diplomatik Indonesia dan peran pemimpin muda dalam membentuk kebijakan regional di masa depan. Format interaktif terbukti sangat efektif, dengan mahasiswa menunjukkan kemampuan analisis yang kuat dan minat yang jelas terhadap isu-isu global.
Secara keseluruhan, lokakarya ini tidak hanya berfungsi sebagai acara akademis, tetapi juga sebagai wadah untuk membina generasi penerus pemikir yang berwawasan global dan berorientasi kebijakan. Dengan memaparkan unifikasi Korea melalui perspektif multidisiplin, politik, gender, ekonomi, pendidikan, dan teknologi, acara ini berhasil menyampaikan kompleksitas isu dan relevansinya yang lebih luas bagi Asia Tenggara. Partisipasi berbagai universitas dan keterlibatan aktif mahasiswa menunjukkan meningkatnya minat terhadap isu-isu internasional di kalangan pemuda Indonesia. Lebih penting lagi, lokakarya ini memperkuat gagasan bahwa unifikasi bukan sekadar masalah politik-keamanan, bukan masalah Korea; melainkan masalah regional dan global dengan implikasi luas yang membutuhkan pendekatan non-keamanan.
Dokumentasi:



