Idil Syawfi, Pakar Kajian Pertahanan dan Strategis PACIS
Serangan drone Iran ke wilayah Israel telah mengeskalasi ketegangan di wilayah Timur Tengah. Instabilitas di kawasan ini sudah meningkat sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Hal tersebut dibalas dengan tindakan perang oleh Israel ke wilayah Gaza yang hingga saat ini menelan korban hingga 33.360 korban meninggal dan 75.000 luka-luka dari pihak Palestina (Laporan APnews, 11 April 2024).
Secara normatif, serangan Iran ke wilayah Israel dinyatakan sebagai aksi retaliasi Iran terhadap serangan Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus, Suriah pada 1 April 2024 yang menewaskan Brigadir Jenderal Mohammad Reza Zahedi, salah satu petinggi Islamic Revolutionary Guards Corps. Namun alasan ini tampaknya tidak cukup memadai dalam menjelaskan tindakan Iran yang secara langsung melakukan serangan ke wilayah Israel.
Eskalasi konflik dengan Israel membuat barisan proksi Iran menjadi lebih solid… axis of resistance semakin merapatkan barisan dan melakukan gerakan yang terorkestrasi dengan baik …
Setidaknya terdapat beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut.
Pertama, eskalasi konflik dengan Israel membuat barisan proksi Iran menjadi lebih solid. Sejak perang Israel dan Hamas di Gaza, Proksi Iran yang dilabeli dengan nama “axis of resistance” di antaranya Iran, Syria, Hisbullah, Houthi, Hamas serta milisi Syiah di Irak semakin merapatkan barisan dan melakukan gerakan yang terorkestrasi dengan baik dalam mendukung Hamas di Gaza.
Hizbullah secara rutin melakukan serangan di wilayah perbatasan Israel dengan Libanon. Houthi melakukan serangan terhadap kapal kargo Amerika Serikat dan Inggris di Laut merah dan menambakkan misil ke wilayah Israel, Milisi Syiah di Irak melakukan serangan terhadap pangkalan Amerika Serikat di Irak dan Yordania. Selama ini, peranan Iran hanya sebagai aktor di belakang layar yang memberikan dukungan persenjataan dan pelatihan, namun serangan langsung Iran menunjukkan komitmennya kepada proksinya.
Kedua, eskalasi konflik yang melibatkan Israel membuat aliansi Barat terpecah. Tindakan Israel yang menimbulkan banyak korban jiwa di Gaza, membuat negara-negara Timur Tengah yang menjadi Aliansi Amerika Serikat berada dalam kondisi dilema. Pada satu sisi mereka menikmati hubungan erat dengan Amerika Serikat, bahkan sebelum serangan 7 Oktober 2023 tengah menjajaki pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel melalui Abraham Accords yang diinisiasi oleh Amerika Serikat.
Pada sisi lain, negara-negara Arab tersebut tidak dapat menutup mata terhadap korban jiwa dari pihak Arab Palestina yang jatuh akibat serangan yang dilakukan Israel di wilayah Gaza. Hal ini menimbulkan tuntutan solidaritas masyarakat domestik di negara-negara Arab. Sehingga banyak negara yang kemudian bersikap inaction dalam menanggapi dinamika yang terjadi.
Publik Amerika Serikat saat ini terbelah pandangannya mengenai perang Israel-Hamas…. Sikap ragu-ragu Amerika Serikat tersebut sangat tampak dalam dualisme kebijakannya…
Ketiga, eskalasi konflik membuat Amerika Serikat ragu-ragu terkait komitmennya kepada Israel. Biden saat ini juga mengalami dilema secara domestik terkait kebijakannya terhadap Israel. Tahun ini merupakan tahun politik di Amerika Serikat, dan Biden berniat untuk mencalonkan diri kembali.
Publik Amerika Serikat saat ini terbelah pandangannya mengenai perang Israel-Hamas. Kaum muda progresif (yang merupakan pasar politik Partai Demokrat), melihat konflik ini dalam kaca mata Hak Asasi Manusia, dan mengecam serangan Israel di Gaza. Sedangkan kaum tua konservatif (pasar politik Partai Republik) mendukung sokongan Amerika Serikat kepada Israel yang merupakan aliansinya.
Sikap ragu-ragu Amerika Serikat tersebut sangat tampak dalam dualisme kebijakannya yang pada satu sisi memberikan dukungan persenjataan dan diplomatik kepada Israel. Dan seiring berjalannya waktu, Amerika Serikat sempat abstain dalam resolusi Dewan Keamanan PBB 2728 mengenai Gencatan Senjata di Bulan Ramadhan.
Di sisi lain, Amerika Serikat juga memberikan bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi Palestina. Keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik Israel-Hamas, dan sebelumnya konflik Rusia Ukraina, dianggap sebagai beban bagi Amerika Serikat, yang secara kalkulasi sistem internasional seharusnya fokus kepada China yang pada saat ini menjadi pesaingnya sebagai great power dalam tataran global.
Keempat, eskalasi konflik dengan Israel meningkatkan profil Iran di kawasan. Semakin kejamnya tindakan Israel di Gaza membuat masyarakat secara global mencemooh Israel sebagai negara pelanggar HAM, Apartheid, pelaku genosida bahkan penjahat perang. Di sisi lain, serangan langsung ke wilayah Israel menunjukkan kredibilitas Iran sebagai satu-satunya negara yang berani melakukan retaliasi terhadap tindakan Israel. Hal ini memunculkan banyaknya dukungan dan simpati khususnya dari masyarakat Muslim terhadap tindakan Iran, hal yang sama juga dirasakan oleh Houthi ketika melakukan serangan kepada kapal Kargo AS dan Inggris. Dengan profil yang meningkat dan kredibilitasnya dalam menghadapi Israel (dan barat), dapat digunakan Iran untuk menarik dukungan dari great power lain seperti China dan Rusia.
Israel: Kerugian yang terkakulasi
Bagi Israel, serangan Iran ke wilayah mereka tampaknya sudah menjadi kerugian yang terkalkulasi. Setidaknya, serangan di Damaskus pada 1 April dilakukan Israel pasti sudah melalui perthitungan resiko aksi retaliasi Iran. Disisi lain, Israel tampak sudah siap dengan serangan tersebut, karena hingga saat ini belum ada laporan korban meninggal, serta diklaim 99% proyektil yang ditembakkan Iran tidak dapat menembus Iron Dome yang dimiliki oleh Israel. Namun, terdapat beberapa implikasi dari serangan Iran yang juga menjadi hal yang diperhitungkan oleh Israel.
Pertama, serangan Iran menjadi alasan untuk memperluas konflik di kawasan. Israel hingga saat ini tampak terjebak dengan perang di Gaza. Seakan-akan tidak tampak ujungnya, operasi militer yang sudah dilaksanakan selama enam bulan ini tidak menunjukkan titik terang, masih sedikit petinggi Hamas yang tertangkap sedangkan korban jiwa semakin meningkat yang membuat Israel menjadi sorotan secara global. Hal ini tidak lepas dari sokongan Iran terhadap Hamas. Sehingga konflik dengan Iran akan membuat tujuan perang menjadi jelas kembali.
Kedua, serangan Iran dapat menarik kembali dukungan aliansi yang sempat melemah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dukungan Amerika Serikat dan Aliansi Eropa-nya terhadap Israel semakin menurun, khususnya karena tuntutan domestik di negara-negara tersebut. Dengan agresifnya Iran dalam merusak stabilitas kawasan, akan mempertegas kembali alasan bagi Amerika Serikat dan negara-negara barat dalam mendukung Israel.
Serangan Iran membuat solid dukungan domestik kepada Netanyahu….. Serangan Iran ke wilayah Israel dapat menutupi kritik-kritik … dan mengukuhkan dukungan kepada Administrasi Netanyahu…
Ketiga, serangan Iran membuat solid dukungan domestik kepada Netanyahu. Kebijakan Netanyahu di Gaza dalam beberapa minggu terakhir memunculkan kritik yang tajam dari masyarakat domestiknya. Beberapa kelompok mengkritik tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan tentara Israel, namun disisi lain ada juga yang mengkritik Israel masih belum terlalu tegas kepada Hamas di Gaza, bahkan muncul juga kritikan terkait ketidakjelasan tujuan perang di Gaza. Serangan Iran ke wilayah Israel dengan korban jiwa yang minimal dapat menutupi kritik-kritik tersebut. Dan mengukuhkan dukungan kepada Administrasi Netanyahu untuk dapat merespons serangan Iran tersebut.
Dapat dikatakan, bahwa regional power menjadi pemain utama dalam perpolitikan di Timur Tengah. Kekuatan Regional tadi (Iran dan Israel) mendapatkan keuntungan dari eskalasi konflik diantara mereka. Serta mencoba untuk menarik dukungan dari Great Power di tataran global untuk (tetap) terlibat dan mendukung upaya mereka masing-masing.

