Artikel ini pertama kali diterbitkan di situs Public Diplomacy Center (PDC), https://uscpublicdiplomacy.org/blog/toward-symmetrical-public-diplomacy-rethinking-korea%E2%80%93asean-engagement
Setiap tahun, survei State of Southeast Asia yang dilakukan oleh ISEAS menjadi barometer penting mengenai bagaimana kawasan ini memandang mitra dialog ASEAN. Korea Selatan memang masuk ke dalam survei ini relatif lebih lambat dibandingkan mitra lainnya, namun dari waktu ke waktu tingkat kepercayaan terhadap pengaruh strategis Korea terus meningkat. Sejak bergabung sebagai mitra dialog ASEAN pada 1989, Korea secara konsisten memperkuat hubungannya dengan kawasan, yang berpuncak pada peningkatan status hubungan bilateral menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif (Comprehensive Strategic Partnership / CSP) pada tahun lalu.
Pada awalnya, kemitraan ini berfokus terutama pada bidang politik dan ekonomi. Namun, sejak 2017 terjadi pergeseran signifikan melalui New Southern Policy (Kebijakan Selatan Baru), yang menghadirkan visi lebih komprehensif dengan menekankan koneksi antar-masyarakat. Hal ini juga tercermin dalam Rencana Aksi CSP (2026–2030), yang kembali menekankan pentingnya “pilar masyarakat” dengan menetapkan tujuan spesifik di bidang pertukaran pemuda, pendidikan, budaya, dan berbagi informasi.
Meski demikian, ketidakseimbangan struktural tetap terlihat dalam cara pilar masyarakat ini dioperasikan.
Ketidakseimbangan tersebut tampak jelas di berbagai sektor. Pengaruh global Hallyu tidak terbantahkan, dengan Asia Tenggara menjadi salah satu basis konsumen terkuatnya. Ekspor musik Korea ke kawasan ini mencapai lebih dari 15%; impor film melonjak hingga 70%; webtoon menguasai pangsa pasar sekitar 18%; dan sektor gim menempatkan Asia Tenggara sebagai salah satu pasar utamanya dengan kontribusi lebih dari 14%. Namun, arus pertukaran budaya ini sebagian besar berjalan satu arah. Pertanyaannya kemudian: di manakah pengaruh budaya ASEAN di Korea? Asimetri ini menciptakan kondisi di mana satu pihak menjadi produsen, sementara pihak lain terutama berperan sebagai konsumen.
Pola serupa juga terlihat dalam bidang pendidikan. Pada 2023, mahasiswa asal ASEAN menjadi kelompok mahasiswa internasional terbesar di Korea (41%), menegaskan posisi Korea sebagai destinasi studi utama di kawasan. Sebaliknya, mobilitas mahasiswa Korea ke negara-negara ASEAN masih terbatas baik dari sisi jumlah maupun konsistensi—sekali lagi mencerminkan preferensi Korea terhadap ASEAN ketimbang sebaliknya. Dalam hal persepsi, survei menunjukkan bahwa pemuda ASEAN melaporkan tingkat minat dan ketertarikan yang tinggi terhadap Korea (90,4%), sementara pemuda Korea memperlihatkan keterlibatan yang jauh lebih rendah terhadap ASEAN (52,8%). Hanya dalam sektor pariwisata tampak keunggulan ASEAN, dengan jumlah wisatawan Korea yang berkunjung ke negara-negara ASEAN cukup besar. Meski jumlah wisatawan ASEAN ke Korea terus meningkat, angkanya masih jauh tertinggal. Ketidakseimbangan ini menegaskan hambatan mendasar: absennya timbal balik antarmasyarakat, yang pada gilirannya berisiko melemahkan semangat kemitraan yang seharusnya bersifat mutual.
Apa yang dapat dilakukan? Agar CSP benar-benar bermakna, ia harus berlandaskan prinsip timbal balik. Diplomasi publik simetris menawarkan kerangka kerja yang relevan untuk bergerak dari persuasi satu arah menuju dialog dua arah dan pemahaman bersama.
Namun, strategi ini harus disesuaikan dengan dinamika unik hubungan Korea–ASEAN, yang berbeda secara signifikan dari pola keterlibatan bilateral maupun regional lainnya. Dalam konteks ini, terdapat tiga karakteristik utama yang membedakan praktik diplomasi publik Korea–ASEAN.
Pertama adalah peran negara. Meskipun diplomasi publik kontemporer menekankan keterlibatan aktor non-negara, negara tetap memegang peranan sentral—terutama dalam kasus Korea. Kesenjangan persepsi menunjukkan bahwa masyarakat Korea memiliki pemahaman terbatas terhadap istilah “ASEAN,” sementara istilah “Asia Tenggara” lebih umum dikenal. Perbedaan terminologi ini merefleksikan fragmentasi pemahaman publik. ASEAN sebagai institusi regional relatif tidak terlihat dan sering dipersepsikan sebagai konsep elitis, sementara negara-negara anggotanya lebih familiar bagi masyarakat luas. Dinamika ini berpotensi melemahkan kohesi ASEAN sekaligus mengaburkan citranya sebagai blok regional yang solid. Oleh karena itu, pemerintah Korea perlu membuat istilah “ASEAN” lebih mudah dipahami dan lebih dekat dengan publik guna memperkuat dukungan domestik terhadap kebijakan luar negeri terkait.
“Korea dan ASEAN telah menempuh perjalanan panjang. Namun kini pertanyaannya bukan lagi seberapa besar kita saling mengagumi, melainkan seberapa dalam kita benar-benar saling memahami.”
Kedua adalah peran hubungan masyarakat pemerintah. Diplomasi publik yang efektif memerlukan keterlibatan yang tidak hanya menjangkau audiens internasional, tetapi juga menyasar konstituen domestik sebagai sumber legitimasi dan masukan bagi kebijakan luar negeri. Tanpa kesadaran serta dukungan publik domestik, inisiatif diplomasi eksternal berisiko kehilangan kedalaman dan keberlanjutan. Fungsi hubungan masyarakat pemerintah ini semakin relevan di era ketika aktor non-negara dan platform digital memainkan peran besar dalam membentuk persepsi publik. Jika negara tidak proaktif dalam mengelola narasi, ruang kosong yang tercipta dapat diisi oleh sumber alternatif—dengan potensi menimbulkan kesalahpahaman atau konsekuensi yang tidak diinginkan.
Ketiga adalah konvergensi antara diplomasi komersial dan diplomasi publik. Diplomasi publik biasanya dipandang sebagai upaya non-komersial berbasis nilai, sehingga kerap dianggap berbeda dengan kepentingan korporasi. Namun, dalam konteks Korea–ASEAN, ekspor budaya Korea telah berfungsi sekaligus sebagai alat promosi ekonomi dan diterima luas oleh publik Asia Tenggara. Fenomena ini memunculkan konsep “diplomasi korporasi” yang semakin diperhatikan. Akan tetapi, konvergensi ini juga mengandung risiko—yakni reduksi diplomasi publik menjadi sekadar transaksi. Ketika kekuatan lunak diperlakukan hanya sebagai instrumen ekspansi pasar, budaya berisiko terkomodifikasi. Yang dibutuhkan bukan sekadar promosi, melainkan partisipasi yang autentik: fasilitasi pertukaran yang setara, pemahaman mendalam, serta pembangunan hubungan jangka panjang.
Pada akhirnya, keberlanjutan hubungan Korea–ASEAN akan sangat bergantung pada kemampuan kedua belah pihak menjembatani kesenjangan persepsi dan keterlibatan. Seiring dunia bergerak dari logika kekuasaan menuju logika pengaruh, kekuatan lunak dan diplomasi publik tidak lagi bersifat periferal, melainkan semakin berada di pusat strategi. Diplomasi publik harus ditempatkan sebagai platform untuk co-creation ruang yang inklusif. Hal ini berarti memberikan visibilitas yang lebih besar bagi negara-negara ASEAN dalam wacana publik Korea, sembari mendorong ASEAN melakukan upaya kolektif untuk lebih aktif memproyeksikan dirinya.
Pemahaman bersama merupakan investasi jangka panjang yang harus ditumbuhkan secara sadar dan timbal balik. Korea dan ASEAN memang telah melangkah jauh, tetapi kini saatnya beralih dari sekadar saling mengagumi menuju saling memahami. Dan di situlah ujian sesungguhnya bagi CSP.

Author:
Ratih Indraswari
Assistant Professor
Parahyangan Catholic University

