Pada tanggal 10 Juli 2025, Kementerian Sekretariat Negara bersama Parahyangan Center for International Studies (PACIS) Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) menggelar Kick-Off Meeting Penyusunan Grand Design Pengembangan Kompetensi dan Kurikulum Pelatihan Jabatan Fungsional Analis Kerja Sama (JF AKS) di Sekretariat Negara. Pertemuan ini menjadi langkah awal kerja sama strategis antara Pusat Pembinaan Analis Kerja Sama (Pusbin AKS) dan PACIS untuk merumuskan dokumen perencanaan pengembangan kompetensi yang mendukung visi Indonesia Emas 2045.
Acara dipimpin oleh Kepala Pusbin AKS dan dihadiri oleh perwakilan dari berbagai unit, termasuk Biro KTLN, Bidang SDM, Bidang Pengelolaan Kemitraan Sekretariat Negara, Pusat Pembinaan Terjemahan (Pusbiter), Pusat Pembinaan ASN (PPKASN), serta Badan Kepegawaian Negara (BKN). Pertemuan ini bertujuan untuk menyampaikan kerangka kerja konseptual dan metodologis penyusunan grand design, memaparkan rencana aksi (action plan) penyusunan grand design dan kurikulum pelatihan, membangun pemahaman bersama tentang pengembangan kompetensi JF AKS di setiap jenjang, menyelaraskan ekspektasi antara Pusbin AKS dan tim akademik PACIS terkait substansi dan keluaran, dan mengidentifikasi tantangan dan strategi mitigasi dalam proses perancangan. Agenda kerja sama ini menjadi sangat penting guna mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, dengan fokus pada pembangunan SDM unggul, ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, serta ketahanan nasional yang kuat.
Narasumber dari PACIS memaparkan materi mengenai pentingnya pengembangan kompetensi jabatan fungsional dalam konteks birokrasi modern dan tata kelola kerja sama pembangunan yang dinamis. Secara khusus, Yulius P Hermawan, sebagai Ketua PACIS UNPAR menyoroti peran strategis Analis Kerja Sama dalam mendukung kerja sama pembangunan nasional dan internasional, dengan kebutuhan akan kurikulum yang berbasis kebutuhan nyata dan selaras dengan prinsip pembelajaran orang dewasa. Kurikulum ini dirancang dengan pendekatan inovatif, seperti pembelajaran berbasis pengalaman, studi kasus, dan simulasi, untuk membangun keterampilan yang praktis dan efektif. Diskusi juga mencakup rencana aksi, draf awal grand design, serta strategi implementasi, termasuk jadwal dan metodologi untuk memastikan pengembangan kompetensi yang sistematis dan adaptif.
Berbagai masukan muncul dalam proses diskusi. Ibu Ellen Chahianisi dari BKN menekankan perlunya analisis SWOT yang mencakup kekuatan dan kelemahan internal untuk menilai kapasitas pelaksanaan program. Ia juga merekomendasikan profil JF AKS yang jelas untuk setiap jenjang (Ahli Pertama, Muda, Madya, dan Utama) serta peta jalan (roadmap) untuk periode 2025–2029 dengan rencana aksi tahunan yang mencakup empat dimensi: regulasi, sumber daya manusia, manajerial, dan infrastruktur. Selanjutnya, Pak Zeno dari PPKASN mengusulkan agar grand design dielaborasi menggunakan model Corporate University, dengan fokus pada perjalanan pengembangan kompetensi dari awal hingga puncak karier, disertai pemetaan pemangku kepentingan untuk memastikan kolaborasi yang sukses. Sementara itu, dari perwakilan Pusbiter menceritakan berbagai pengalaman penyusunan grand design untuk JF Penerjemah, di mana dilanjutkan dengan mengemukakan adanya pemisahan antara pelatihan fungsional yang wajib (sekali saja) dan pelatihan teknis yang mendalam, serta model proses berjenjang untuk menjamin kualitas yang dapat diadopsi oleh JF AKS.
Kemudian, Pak Idham dari Bidang Sumber Daya Manusia menyoroti pentingnya profil JF AKS yang terperinci untuk memberikan gambaran jelas bagi calon analis mengenai kompetensi yang dibutuhkan di setiap jenjang, serta modul dan kurikulum yang harus dipelajari. Selanjutnya, Ibu Cut dari Ortala mengusulkan pembentukan platform digital berbasis web yang memungkinkan Analis Kerja sama di seluruh Indonesia untuk berbagi informasi, melacak rekam jejak pelatihan, dan meningkatkan pengembangan kompetensi. Masukan dari KTLN kemudian menekankan pentingnya pembandingan (benchmarking) dengan sistem pembinaan yang sudah ada, memastikan kurikulum berfokus pada substansi seperti literasi dasar kerja sama, serta mengintegrasikan model universitas korporat, dengan kemungkinan kolaborasi bersama Kementerian Luar Negeri.
Pertemuan ini juga membahas kebutuhan akan grand design yang fleksibel namun strategis, dengan kerangka kompetensi yang membedakan antara kompetensi fungsional dan teknis. Kerangka ini akan memandu penyusunan kurikulum, alokasi anggaran, dan konsistensi arah pengembangan meskipun terjadi perubahan kebijakan. Selanjutnya, strategi evaluasi diusulkan menggunakan model Kirkpatrick, yang menilai kepuasan peserta, hasil pembelajaran, perubahan perilaku, dan dampak terhadap kinerja organisasi, serta model desain pembelajaran ADDIE (Analisis, Desain, Pengembangan, Implementasi, dan Evaluasi).
Dalam pertemuan tersebut, tim PACIS yang hadir Yulius P Hermawan sebagai ketua PACIS, Ratih Indraswari sebagai ketua tim, Jessica Martha, Theodora Pritadianing Saputri, dan Meyta Saraswaty Putri, serta Nazwa dan Roybafihi sebagai research assistant.
Penulis : Nazwa