Insentif Alternatif untuk Menjaga Daya Tarik Investasi di Era Global Minimum Tax (GMT)

Pada tanggal 30 Agustus 2024, Yulius P Hermawan diundang untuk hadir pada Diskusi Kelompok Terarah (FGD) terkait Perubahan Kebijakan Insentif di Era Global Minimum Tax (GMT) yang diselenggarakan Kementerian Investasi/BKPM. Diskusi tersebut dimaksudkan untuk menggali masukan dari akademisi, peneliti dan pelaku usaha menyikapi pemberlakuan ketentuan pajak minimal global.

Diskusi tersebut membahas tentang kesempatan dan tantangan dari penerapan GMT, kebijakan insentif alternatif yang sesuai dalam konteks Indonesia dan opsi insentif dalam bentuk subsidi. Hal ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi kebijakan insentif alternatif yang tepat untuk menjaga dan meningkatkan daya tarik investasi di Indonesia.

Kesepakatan Pajak Minimum Global (GMT) yang diusulkan oleh OECD telah didukung oleh 137 negara dan disepakati pada KTT di bulan Oktober 2021 di Roma. GMT tersebut menetapkan minimal tarif sebesar 15% laba perusahaan. Kesepakatan tersebut berlaku efektif pada tahun 2024. OECD memproyeksikan bahwa kesepakatan GMT ini dapat memberikan tambahan pendapatan dari perpajakan sebesar 220 milyar dolar secara global. Dengan tambahan pendapatan ini, pemerintah dapat memberikan pelayanan publik lebih baik dan mengembangkan program-program kesehatan dan pendidikan (Thomson Reuter, 2024).

Kesepakatan tersebut dilatarbelakangi banyaknya perusahaan internasional yang berusaha memaksimalkan profit dengan mendaftarkan perusahaan-perusahaan mereka di negara-negara dengan pajak yang sangat rendah atau bahkan nol persen. Dengan ketetapan batas minimal pajak, akan memaksa perusahaan-perusahaan tersebut untuk tunduk pada peraturan perpajakan internasional tersebut dan sekaligus membuat negara-negara yang selama ini menjadi tax haven untuk menaikkan tarif pajaknya pada batas minimal.

Di satu sisi, ketentuan GMT ini akan menguntungkan baik negara-negara maju maupun negara-negara berkembang dalam meningkatkan pendapatan negara dari sumber perpajakan. Di sisi lain, daya tarif investasi di negara-negara berkembang yang mengadopsi tarif pajak rendah berpotensi menjadi menurun jika tidak ada insentif alternatif yang disiapkan khusus untuk menjaga daya tarik investasi asing.

Ketentuan ini berimplikasi juga pada sejumlah insentif yang sejauh ini dipakai negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk menarik investor-investor asing untuk mengembangkan bisnisnya di Indonesia. Instrumen pajak tersebut di antaranya adalah tax holiday yang banyak dipakai negara-negara berkembang dalam rangka menarik investasi luar negeri tersebut.

Tax Holiday merupakan Insentif yang diberikan dalam bentuk pembebasan pembayaran pajak penghasilan pajak atau pengurangan tarif pajak penghasilan badan bagi perusahaan yang menanamkan modal baru atau perusahaan-perusahaan strategis tertentu ke dalam negeri pada jangka waktu tertentu.  Di Indonesia, insentif ini telah diberikan sejak tahun 1967 dengan ditetapkannya Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Regulasi tersebut telah diubah dengan regulasi baru dengan tujuan untuk semakin membuat insentif ini semakin efektif dalam menarik investasi asing ke Indonesia.

Untuk Indonesia, pemberian tax holiday ini telah memberikan sejumlah manfaat. Selain meningkatnya jumlah investasi asing, insentif ini juga telah mendorong dibukanya lapangan kerja baru bagi masyarakat Indonesia. Industri strategis baru seperti Electric Vehicle merupakan salah satu contoh usaha yang mendapatkan insentif dari kebijakan tersebut. Namun, dengan penerapan GMT tersebut, Tax Holiday terancam tidak dapat digunakan lagi.

Kementerian Investasi sedang melakukan kajian untuk melihat implikasi dari penerapan kesepakatan GMT terhadap daya tarik investasi asing ke Indonesia. Selain Yulius P Hermawan yang hadir sebagai Ketua PACIS Unpar, Kemeninves/BKPM juga mengundang peneliti LPEM UI dan INDEF dan perwakilan HIPMI untuk menyampaikan masukannya. Para narasumber menekankan pentingnya analisis cost and benefit dan analisis risiko terhadap penerapan GMT tersebut. Ditekankan pula pentingnya mengeksplorasi alternatif-alternatif insentif, sebagai pengganti bentuk insentif Tax Holiday sebagai instrumen yang selama ini dipakai oleh Indonesia.

Yulius P Hermawan mengingatkan karena Indonesia sudah turut menyepakati GMT tersebut, Indonesia perlu menjadi negara compliant yang tetap bersikap kritis yang siap mengantisipasi dampak negatif dari penerapan GMT tersebut. Perlu segera disiapkan regulasi terkait penerapan GMT, namun juga perlu disiapkan insentif-insentif alternatif guna tetap menjaga dan meningkatkan daya tarik investasi asing di Indonesia. Instrumen-instrumen terkait data base perpajakan dan subjek pajak, pelaporan data dan implementasi regulasi perpajakan harus segera disiapkan.

Posisi sebagai negara compliant yang kritis ini penting supaya penerapan GMT tidak hanya berdimensi peningkatan pendapatan dari sumber perpajakan, tetapi juga antisipasi terhadap dampaknya bagi daya tarik investasi asing ke Indonesia. Jangan sampai pendapatan mengalami peningkatan, tetapi di sisi lain investasi asing ke Indonesia justru menurun. Hal ini juga digaris-bawahi oleh moderator dalam FGD tersebut. Kerja sama antara Kementerian Keuangan yang memiliki otoritas terkait regulasi GMT dan Kementerian Investasi dan Kementerian dan Lembaga lainnya menjadi suatu keharusan supaya terbangun sinergi antara sisi fiskal dan investasi.

Sumber informasi tambahan:

https://tax-thomsonreuters-com.translate.goog/blog/what-is-global-minimum-tax/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc#head-2
https://www.weforum.org/agenda/2024/02/oecd-minimum-tax-rate